Cinta selalu punya jalan untuk saling menemukan...
Aku menikmati aroma daun berguguran musim gugur di salah satu kota kecil di Perancis. Kota Cassis yang beada di daerah Bouches-du-Rhône, merupakan kota kecil dengan pemandangan lautan berwarna biru langit. Warna biru yang bermain begitu mempesona, dengan perahu nelayan hingga kapal besar berlayar di atasnya. Kota ini terkenal dengan keindahan alamnya terutama teluk karang yang konon disebut terindah se-Eropa oleh turis asing. Suasana terbaik yang disuguhkan kota kecil ini berada pada bulan Mei hingga Juni, dan aku baru saja melewatkan periode terbaik itu beberapa bulan lalu.
Aku mencintai Perancis, bahkan selalu bermimpi bisa pergi ke Perancis, menikmati hawa empat musim yang tak pernah aku dapatkan di negeri asalku. Aku selalu ingin mencicipi rasanya duduk memandangi menara Eiffel yang menjulang menebarkan bubuk romantis yang membuat pasangan-pasangan di sekitarnya merasa terhipnotis. Aku selalu iri melihat artis ibukota di televisi memamerkan keindahan bangunan tua di Perancis, wisata air dengan iringan lagu sendu nan manis membelai telinga, dan masih banyak lagi jika aku mau googling dan semakin merasa iri nantinya.
Namun semua terasa berbeda...
“Bonjour Elena... Ca Va?” sapa seorang ibu rumah tangga padaku. Dia nyonya Rulita. Ibu dari Chloe yang selama ini selalu membantuku di rumah kecil yang kusewa untuk keperluanku. “Bien, madame... merci.” Aku menjawab agak terbata. Baru satu bulan aku meninggalkan negeri Bhineka Tunggal Ika tempat kelahiranku dan menetap sementara di Cassis. Aku sudah mengelilingi Perancis seperti keinginanku, aku sudah bertemu menara Eiffel, Benteng tua, dan sudah datang ke sungai tempat perahu berdayung mangkal, namun aku urungkan niatku untuk naik saat itu, karena aku sendirian.
Aku seorang mahasiswa jurusan Bahasa Perancis di salah satu universitas di Jakarta. Aku menjadi satu mahasiswa beruntung yang bisa pergi ke Perancis dengan biaya hidup dari kampus. Aku sendiri bingung mengapa aku yang terpilih, orang-orang bilang aku yang terbaik dari beberapa puluh mahasiswa lainnya, walaupun aku tidak merasa begitu, bahkan aku belum mampu menyanyikan lagu aluet dengan logat yang benar. Aku dikirim untuk mempelajari budaya dan bahasa kota kecil bernama Cassis ini, walaupun sampai hari ini aku belum mendapatkan apa-apa.
Aku menarik satu koper di tanganku keluar dari rumah kayu yang nampak asri dipandang mata. “Au revoir, Elena... bon voyage.” Ujar Nyonya Rulita dan Chloe anaknya mengiringi kepergianku. Aku memutuskan untuk pulang sementara ke negeri asalku untuk mengurusi beberapa berkas di kampus, sekaligus menemui dia, anak laki-laki yang dulu sempat membuatku tersendat untuk pergi ke Perancis...
Aku sampai di bandara Internasional negaraku. Orang tuaku sudah berdiri penuh senyum bangga menantikan putri semata wayangnya yang baru saja menikmati sensasi terbang di udara. Dan, tentu saja beberapa sahabat dekatku juga datang, kecuali dia. Aku memeluk mereka seraya melepaskan rasa rindu yang menumpuk.
“Gimana Paris? Seindah yang lo idam-idamkau?” Tanya Betty dengan gigi kawat warna-warninya.
“Lo bawa oleh-oleh yang gua pesen nggak? Tas gucci? LV? Atau yang leinnya?” Helen menyerobot pertanyaan Betty. Aku menepuk jidat pura-pura lupa. Helen langsung cemberut. Rena yang selalu jadi sosok keibuan merangkul Helen dan menghiburnya. Aku mengedipkan mata penuh rasa terima kasih pada Rena.
Mataku mencari sosok laki-laki muda dengan gaya khasnya, sepatu kets yang sudah mulai usang, rambut pendek namun terlihat berantakan, kemeja fanel, dan earphone yang selalu menggantung di pundaknya. “Mana Dio?” tanyaku dalam hati.
Betty membaca air mukaku. “Dio udah gue kasih tahu kemaren via sms.” Aku menatap Betty. “Dan dia nggak bales.” Aku mencoba meneruskan kemungkinan yang akan dikatakan Betty. Dan, Betty mengangguk.
Aku Elena, gadis yang selama ini selalu mementingkan diri sendiri daripada orang lain, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, aku selalu mengatakan apa yang ingin kukatakan, tak peduli ada orang yang keberatan dengan kata-kataku, aku selalu minta maaf bila ada orang lain yang mengadukan rasa keberatannya atas kata-kataku, dan setelah itu melupakannya lalu kembali mengulangi kesalahanku.
Hari itu Dio duduk disampingku secara tiba-tiba, “Ada seorang gadis yang menangis karena kata-kata lo...” ucapnya padaku. Aku menatapnya. “Lo ngomong sama gue?” dia mengangguk. “Siapa?” kataku cuek. Aku kembali menatap langit. “Gimana lo bisa hargain orang lain kalo sikap lo aja kayak gini? Siapa cowok yang bakal tulus suka sama lo, kalau lo kayak gini?” Ucapnya sinis. Mataku mendelik. “Gue rasa nggak penting buat lo siapa yang nangis karena ulah lo.” Lanjutnya. “Siapa sih lo? Apa mau lo?” aku mulai terganggu. Dia berdiri membelakangiku. “Dio, fakultas sastra Indonesia.” Katanya sembari pergi meninggalkanku. Aku menarik sudut bibirku membentuk senyuman sinis. “Laki-laki banyak gaya. Yang pasti bukan lo cowoknya.” Kataku setengah teriak.
Keesokan harinya, sesampainya aku di kampus ada seorang anak perempuan dekil membawa setangkai bunga mawar bertuliskan kata-kata romantis untukku. “Buat kakak supaya selalu tersenyum.” Ujar anak itu terbata-bata seperti sedang menghafal. Aku mengambil bunga itu dengan heran. “Dari siapa?” Tanyaku. Namun, gadis kecil itu hanya tersenyum dan pergi. Aku membuka kertas kecil yang tertempel di tangkai bunga. “Satu senyum darimu, mampu indahkan dunia, dinda...” keningku mengkerut. “Nama gue bukan Dinda, salah orang kali yah itu anak?” gumamku pelan. Tanpa pikir panjang aku buang bunga mawar itu ke tong sampah terdekat.
Esoknya lagi, bocah laki-laki yang membawa ukulele mendekat padaku, dia menyanyikan sebait lagu cinta dihadapanku, lalu memberikan setangkai bunga yang sama seperti kemarin. Sepucuk surat juga tergantung disana. Bocah laki-laki itu pergi tanpa meminta bayaran atas suaranya seperti biasanya. Aku masukkan lagi uang koin ke dalam saku dan membaca potongan kecil surat berwarna merah muda ditanganku. “Apalagi jika kamu tertawa, suaranya mampu getarkan malam...” aku tersenyum sekilas. Eh, ada notes-nya, “NB: Tolong, jangan buang aku lagi...” aku terkejut. Mataku menerawang seluruh areal gerbang kampus. Ada begitu banyak mahasiswa, aku tidak tahu siapa yang mengirim ini. Tapi, untuk menghargai perasaannya, aku memasukkan bunga ini ke dalam tas.
Hari demi hari bunga yang dikirim pengagum rahasia itu semakin banyak. Kamarku sudah dipenuhi mawar merah pemberiannya sampai-sampai ibuku selalu mencium bau mawar setiap lewat kamarku. Hari ini, aku tidak mau menerima mawar itu.
Seorang nenek tua mendekatiku di gerbang kampus. Setelah dua minggu aku disodori bocah-bocah kecil, sekarang dia menyuruh seorang nenek tua. “Neng... nenek belum makan...” ujar nenek itu memelas. Apa ini? nenek ini bukan kiriman orang itu? Aku menatap nenek itu, dia tidak membawa benda yang sekiranya akan dia berikan padaku. Akhirnya aku mengangkat telapak tanganku menolak dengan halus. Aku masuk meninggalkan nenek itu karena sudah waktunya masuk kuliah. Setelah hari itu, tidak ada lagi kata-kata romantis yang pelan-pelan aku rindukan. Tidak ada yang seromantis itu padaku sebelumnya.
“Gimana El? Udah ketemu secret admirer lo yang romantis itu?” tanya Betty padaku. Aku menggeleng lemah. Betty menepuk pundakku.
Berminggu-minggu tak ada tanda-tanda darinya. Tak ada bocah, tak ada surat. Sampai pada hari terpampangnya pengumuman di mading fakultas bahasa.
Ellena Santika BP12190045
Atas keputusan dari hasil perundingan dosen fakultas bahasa, akan diberangkatkan ke Perancis untuk keperluan study bahasa perancis pada hari Sabtu tanggal 6 Mei 2005.
Surat pengumuman itu mengejutkan semua mahasiswa di kampusku. Mereka menyalamiku dengan suka cita. Aku memang menyukai Paris, harusnya aku senang mendapat berita itu, tapi kenyataannya berita itu sama sekali tidak menggubrisku.
Sudut hatiku lebih memikirkan orang yang memberiku tangkai demi tangkai bunga mawar yang kini hilang. Aku duduk di bangku batu favoritku. “Gimana bisa gue mikirin orang yang belum gue kenal sekalipun? Kenapa gue ngarepin kata-kata manis di surat itu lagi? Ada apa sama gue? Gue jatuh cinta? Suka sama orang yang gue nggak tahu mukanya seganteng Daniel Radcliffe atau mungkin seburuk Voldemort?” Pikirku sembari memejamkan mata dan bersender. Seseorang duduk disampingku. Aku tak peduli.
“Selamat ya, lo beruntung bisa jalan-jalan ke Perancis dan menikmati romantisnya kota-kota disana.” Katanya yang sudah pasti tertuju padaku. Aku membuka mata. Laki-laki bernama Dio yang dua minggu lalu membuatku kesal duduk disana. “Lo lagi, mau apa lagi?” Tanyaku sinis. “Masih aja sinis, gue kan cuma ngucapin selamat aja,” katanya kalem. “Oh... iya, makasih.” Kataku cuek. Dio tersenyum, senyuman itu terlihat teduh. Belum pernah aku melihatnya dari dua mantanku terdahulu.
“Lo tahu, Perancis akan lebih indah kalau lo nikmatin dengan orang yang lo sayang.” Ujarnya sembari menatap langit. “Ngomong apa sih lo?” aku masih sinis.
Dio tertawa. “Nih, ada surat.” Katanya sembari menyodorkan sepucuk surat berwarna merah muda padaku, lalu pergi dengan memasang earphone putihnya di telinga.
Dinda...
Aku harap, aku bisa menemuimu dihari sebelum kepergianmu ke negeri orang...
05-05-05
Aku harap kamu bisa datang ke kampus ini pukul 18.00 dari gerbang gedung olahraga...
Bersoleklah yang indah dan aku akan menunggu...
Secarik kertas itu berisi tulisan dalam tata bahasa yang sering kusebut kuno, namun tak kusangka rasanya seindah ini jika aku menerimanya sendiri. Kata-kata ini untukku.
Sejak itu, aku tak sabar menanti tanggal cantik yang tertulis di kertas yang selalu aku bawa di dompetku. Aku juga semakin antusias untuk pergi ke Perancis, entah kenapa kata-kata Dio siang tadi membuatku ingin merasakan keromantisan negeri Perancis segera. Aku jadi semakin sering googling mencari tempat-tempat romantis di Perancis, menara Eiffel, bangunan tua, aliran sungai dengan iringan lagu haru, taman bunga yang indah dan banyak lagi yang membuatku tertarik. Aku memang mencintai Paris sejak duduk di bangku SMA, karena alasan itu juga aku mengambil jurusan bahasa perancis di universitas.
Dua minggu berlalu, paspor sudah selesai, tiket sudah ditangan dan persiapan sudah hampir 90%, aku hanya tinggal membeli beberapa krim kulit agar kulitku dapat beradaptasi dengan iklim disana.
05-05-05 pukul 17.50
Aku sampai di gerbang gedung olahraga. Disana ada secarik kertas yang menempel di pagar. “Dorong aku.” Kata kertas itu, aku mendorong gerbang yang tidak dikunci itu. aku diam beberapa saat, jam tanganku menunjukkan pukul 18.05 dan aku mulai melangkah. Aku mengenakan short-dress warna merah muda dengan high heels warna senada. Wajahku dihias alami.
Aku mendekat ke gerbang besar seperti pintu masuk menuju alam lain yang terbuat dari besi, aku mendorong gerbang yang menuju ke gedung olahraga itu. gerbang terbuka dan membuatku takjub. Ada banyak lilin kecil dan taburan kelopak mawar menuntun langkahku, benda-benda yang memiliki wangi khas ini menuntunku ke lantai tiga. Cahaya lilin dan taburan kelopak mawar itu berhenti di sebuah kotak segi empat. Diatas kotak itu ada pesan lagi, “Bawa aku lurus menuju balkon tangga.” Katanya. Aku melangkah pelan menaiki anak tangga. Sesampainya diatas aku melihat seorang laki-laki dengan senyuman teduh dihadapanku. “Dio?” Tanyaku. “Aku disini, dinda...” Balasnya masih tersenyum. “Simpan itu disitu.” Ucap Dio sembari menunjuk meja kecil samping kiriku. Aku menyimpannya sesuai perintah. Mataku beradu pandang dengannya. Dio mendekatiku dan meraih kedua tanganku.
“Sebelumnya, aku minta maaf kalau aku mengejutkanmu, tapi, sejujurnya, aku menyukaimu sejak pertama kali mendengar suaramu, dan melihat tawamu. Awalnya, aku pikir aku ingin terlebih dulu mengenalmu dan membiarkanmu mengenalku, tapi setelah aku melihat pengumuman di mading dua minggu lalu, aku rasa terlalu lama jika aku harus menunggu kita saling mengenal lebih dekat seperti pasangan lain. Aku berpikir keras bagaimana caraku menyatakannya, dan aku tiba pada momen saat aku mendengar sahabatmu, Betty mengatakan dengan keras Hey, siapapun cowok yang suka sama Elena, kasih dia momen yang romantis dong!. Sisi romantisku tak tahan untuk keluar setelah mendengar itu, seperti yang kamu tahu... ini puncaknya.” Dio menjelaskan dengan panjang lebar. Aku nyaris menganga dengan hati yang terenyuh. Dio mendorong tubuhku kearah balkon tangga. “Tutup matamu...” Pintanya. Aku menutup mataku segera, mengharapkan kejutan indah berikutnya. Dia menempelkan tubuhku ke balkon tangga.
“Elena... aku menyukaimu seperti menyukai aroma hujan... aku menyayangimu seperti kamu menyayangi orang terkasihmu... dan Elena, aku membutuhkanmu seperti kupu-kupu membutuhkan madu...” Dio menghentikan kata-katanya. Tarikan nafas gugup terdengar di telingaku. “Elena... maukah kamu jadi kekasih hatiku yang tulus mencintaimu, ini?” Dio mengatakannya bak pangeran dari negeri dongeng. “Buka matamu dan jawablah pertanyaanku, Elena...”
Aku membuka mataku dan segera mengangkat kedua tanganku untuk menutup mulutku yang nyaris menganga. Di bawah balkon ini ada kolam renang yang diatasnya terdapat lilin-lilin temaram bertuliskan I Love You dengan lambang hati dan taburan kelopak mawar dimana-mana, seling beberapa detik dari ketakjubanku menatap kolam renang, cahaya-cahaya kecil terbang melewatiku dengan gemulai, itu cahaya dari beberapa kunang-kunang yang berasal dari kotak yang aku bawa tadi. Aku membalikkan tubuhku menghadap Dio. Dengan tatapan dan senyuman teduhnya, aku memeluknya penuh cinta dan rasa terima kasih. “Kamu mau jadi pacarku?” bisiknya di telingaku. Aku memeluknya semakin erat. Dio membalas pelukanku dengan lembut.
“Aku serasa sedang dalam drama cinta Dealova.” Kataku lirih. “Makasih...”
Dio membelai rambutku.
Tiba di hari kepergianku ke Perancis, Dio tidak muncul untuk mengantar. Semalam dia memintaku menunda kepergianku ke Perancis sebentar saja agar kami bisa bersama-sama menikmatinya. Tapi, hasratku membayangkan keromantisan kota Paris mengalahkan segalanya. Aku meninggalkan Dio dan harapannya di bandara, aku bisa saja meminta dosen mengundur kepergianku karena alasan tertentu, toh, banyak kakak senior yang melakukan itu. Tapi, aku terlalu ingin ke kota cinta itu secepat aku bisa dan melupakan komponen terpenting untuk dibawa kesana yaitu, cinta.
“Di kota cinta tanpa cinta seperti orang yang menyewa lapangan bola tanpa timnya. Aku tidak bisa melakukan apapun, aku tidak bisa merasakan keromantisan yang ada di benakku selama ini. Aku meninggalkan hal yang paling penting untuk pergi kesana disini. Aku benar-benar egois...” Ucapku lirih pada Dio setelah kepulanganku dari Perancis. Akhirnya Dio mau menemuiku setelah aku merengek penuh sesal.
Kami bertemu di bangku batu favorit kami berdua.
Dio tersenyum khas. “Elena... cinta akan menemukan jalannya untuk saling menemukan. Sejauh apapun kamu pergi, aku yakin kamu kembali. Kita akan pergi ke Paris dan menikmati secangkir cokelat panas di bawah menara Eiffel, ditemani sinar bulan, kelap-kelip bintang dan duduk berpelukan di perahu yang diiringi lagu merdu yang mendayu. Aku janji, bersabarlah...” Ucap Dio lalu mengecup keningku, membuat air mataku mengalir.
Komentar
Posting Komentar