Ketika mimpi sudah di depan mata...
Selalu ada yang tak
terduga, dan membuat dilema..
Kakiku seketika mematung
di depan mading sekolah yang hari ini tampak amat sangat menarik di mataku.
Disana terpampang sebuah pamflet berukuran 15x20cm berwarna kuning yang sangat
menggoda. Walaupun ukuran pamflet kuning itu kalah dengan ukuran pamflet
disampingnya yang berukuran mungkin 60x30cm, tapi mataku masih bisa menangkap
dengan gesit isi dari pamflet kuning itu. Aku membaca kata perkata yang
tertulis di pamflet itu dengan seksama.
“Beasiswa serta
pertukaran pelajar ke Perancis. Caranya dengan membuat esai tentang Perancis
dan Jakarta atau kota besar lainnya yang menjadi tempat tinggalmu. Batas waktu
tanggal 16 September 2012. Kumpulkan esai terbaikmu ke panitia yang ada di
kotamu.” Bibirku membuka dan mengatup dengan berirama.
Tanggal 16 itu satu minggu dari sekarang, berarti harus
cepet-cepet bikin esai nih..
...
Sepulang sekolah, aku
berniat jalan-jalan ke taman kota dengan berjalan kaki. Sembari memeluk sebuah
buku catatan dan pulpen, aku berharap dapat menulis sesuatu untuk esaiku di
sepanjang perjalanan kakiku.
Jejak demi jejak aku
tinggalkan dibelakangku, tapi buku catatanku masih saja kosong. Akhirnya aku
memutuskan untuk duduk di sebuah warung sembari meminum teh botolan menghadap
ke jalan. Pemandangan pertama yang tertangkap mataku adalah barisan mobil dan
motor yang berdesak-desakan dibarengi gema klakson disana-sini. Seketika
pulpenku mulai mengeluarkan tintanya merangkai beberapa kata.
Jakarta adalah kotanya macet, banyak faktor yang menyebabkan
hal ini, misalnya banyaknya kendaraan pribadi, penataan jalan yang berantakan,
ditambah pengguna jalan yang tidak tahu aturan, atau petugas lalu lintas yang
tidak bisa tegas. Hal ini membuat Jakarta menjadi tidak nyaman. Senyaman Perancis
yang memiliki penataan jalan cukup baik disertai pengguna jalan yang sangat
tahu aturan, tentu saja.
Lalu aku menutup buku
catatanku dan berlenggang pulang.
Esok harinya, aku
melakukan hal yang sama. Aku menulis segala keluhanku tentang Jakarta-tempat
tinggalku-dengan sangat luwes. Wajar saja, wong
Jakarta memang kota yang udaranya saja dipenuhi umpatan dan keluhan dari
penghuninya, makanya Jakata selalu panas.
Sudah hampir satu
halaman aku menulis tentang kota Jakarta yang amat sangat berbeda dengan kota
Paris atau negara Perancis. Dari mulai angkutan umum yang minim fasilitas,
kriminalitas, penumpang yang urakan dan membuat tidak nyaman, tempat-tempat
bersejarah yang tak terawat, sampai pola pendidikan yang menyulitkan -yang
idenya datang saat aku telat masuk kelas selepas istirahat makan siang dan
dihukum mengerjakan soal yang jelas-jelas aku tidak bisa- pokoknya semua
unek-unekku tentang Jakarta.
...
Tiga hari berlalu,
esaiku sudah satu setengah halaman. Aku membacanya berulang-ulang sembari menikmati
cokelat batang dengan nikmat.
“Enak banget makan
cokelatnya..” Ujar suara laki-laki yang aku kenal. Aku meliriknya. Ah, iya, itu
Danar, pacarku.
Aku tersenyum bungah
dengan cokelat yang belepotan. Danar membersihkan sisa-sisa cokelat di
pinggiran bibirku dengan lembut.
“Baca apa?” Tanyanya
sambil melirik buku catatanku.
Aku menyodorkan buku
berwarna biru itu padanya. “Kasih pendapat ya.” Kataku.
Bola mata Danar terlihat
naik turun kekiri dan kekanan membaca tulisanku.
“Esai buat beasiswa ke
Perancis, lagi? Bagus, seperti biasa. Kamu pandai merangkai kata.” Ujar Danar.
Kurang memuaskan. Tapi aku tersenyum.
“Jadi karena ini, kamu
susah aku temuin dan susah aku hubungin?” Danar bertanya lagi.
“Eh? Emang aku susah
dihubungin? Aku pikir kamu lagi sibuk sama urusan OSIS, makanya kamu nggak
hubungin aku.” Kataku polos.
“Nggak hubungin kamu? Lalita...
sayang... aku telpon kamu lebih dari dua puluh kali kemarin, tapi handphone kamu nggak aktif. SMS aku juga
pending semua. Aku pikir, kamu nggak mau diganggu...” Ujar Danar sembari
menarik hidungku yang tidak terlalu bangir.
“Kamu telpon aku? Masa?”
Aku menganga. Hampir saja aku lupa kalau selama menulis esai, aku sama sekali
tidak melihat kabar terbaru di ponselku. Tanganku merogoh saku rok dan bajuku,
tapi aku tidak menemukan ponselku dimana-mana. Lalu mataku beradu pandang
dengan Danar yang mulai tersenyum.
“Kenapa? Ketinggalan handphone-nya?” Danar menebak dengan
jitu. Aku nyengir perlahan.
“Kamu itu, kalo udah
soal Paris, lupa segalanya. Jangan-jangan kamu juga lupa kalo kamu punya aku?”
Danar menyindir.
“Maaf... abis waktunya
cuma seminggu..” Kataku dengan amat bersalah. Tapi Danar malah tersenyum dan
membelai rambutku penuh kasih sayang. Ya, itulah Danar. Pacarku yang paling
manis. Aku selalu berharap bisa pergi ke Paris bersamanya. Suatu saat nanti.
...
Namaku Lalita Sanita. Anak
tunggal dari pasangan suami istri yang keduanya bekerja sebagai konsultan
bisnis. Aku duduk di kelas 3 SMA swasta favorit di Jakarta. Dan Danar, adalah
pacarku yang selama tujuh bulan ini selalu menemaniku dengan sepenuh hatinya.
Danar adalah wakil ketua OSIS, dia lumayan tampan dan sangat pintar dalam
berhitung. Sedangkan aku, gadis berdarah Sunda Jawa yang tidak terlalu cantik,
tapi tidak jelek juga. Danar bilang, aku ini pas. Tidak terlalu cantik untuk
disukai banyak laki-laki lain tapi juga tidak jelek untuk dikenalkan pada
teman-teman cowoknya. Satu hal yang bisa aku banggakan dari diriku adalah aku
begitu terobsesi dengan keromantisan kota Paris dan melihat eiffel tower dari dekat. Berkat itu, aku
jadi cukup pandai menulis terutama untuk cerita-cerita romantis. Aku pernah
memenangkan sayembara menulis cerita cinta yang diselenggarakan oleh salah satu
produk body mist beken berkat cerita cinta berlatar kota Paris yang kukirim.
Dan aku beruntung, Danar
tak pernah keberatan dengan obsesiku terhadap Paris ini. Dia malah selalu
mendukungku untuk menggapai impian besarku itu. Aah, Danar memang anugerah!
...
Sudah H-1 sebelum
penutupan. Hari ini aku berniat untuk mengirim esaiku yang berjumlah hampir dua
lembar ini pada panitia beasiswa yang berada di daerah Salemba. Pukul 10 pagi
aku sudah bertengger di pinggir jalan menunggu taksi kosong. Penerimaan esai
dibuka dari jam 10 sampai jam 2 siang.
Lima belas menit
mematung, tapi taksi yang kuharapkan tak kunjung berhenti. Tak mau lama-lama
berdiri, akhirnya aku memutuskan naik angkutan umum. Yah, kopaja memang banyak
berhenti dihadapanku dari tadi. Ah, berada di dalam besi berbentuk balok ini
ternyata sangat panas. Ditambah lagi penumpang disebelahku yang menyeruakkan
bau minyak urut yang sangat mengganggu. Akhirnya aku segera turun di perempatan
yang aku tidak tahu namanya.
“Ah, bisa muntah gue
lama-lama ada di dalem!” Aku mengumpat.
Sepuluh menit mematung
disana, tetap saja tidak ada taksi kosong yang berhenti. Heran, kenapa hari ini semua taksi menghindariku?.
Waktu menunjukkan pukul
sebelas siang. Akhirnya aku bertanya pada tukang es kelapa muda cara untuk
sampai ke Salemba yang tercepat.
“Oh... mau ke Salemba,
neng? Gampang! Neng nyebrang aja noh kesono! Terus setop deh microlet yang ke
Salemba...Cepet dah pasti!” Bapak tukang es kelapa itu menjelaskan seperti
berteriak dengan logat betawi yang lumayan kental. Aku manggut-manggut sembari
berterima kasih.
Dihadapanku kini ada dua
jalan besar yang harus aku sebrangi. Tanpa jembatan penyebrangan, tanpa zebra
cross dan lampu penyebrangan, serta tak ada satupun polisi yang bisa dimintai
tolong. Oh, ya ampun...
Kepalaku menengok
kekanan dan kekiri. Lalu mengumpat. “Kenapa mobil disini pada kenceng-kenceng
banget sih?! Gue nggak mau jadi korban tabrak lari mobil-mobil mewah itu aah...”
mulutku bersungut. Aku melihat jam, sudah hampir jam setengah dua belas.
Lalu aku melihat seorang
bapak yang siap menyebrang tidak jauh dari posisiku berdiri. Segera saja kakiku
beringsut mendekati bapak berkumis itu untuk menyebrang bersama –atau lebih
tepatnya bapak itu meyebrangkan aku-
Yeah! Selesai dengan
jalan besar pertama. Tinggal satu jalan lagi untuk sampai ke sebrang. Aku
melirik bapak berkumis tadi yang menjauh dariku. Ah, sial. Ternyata bapak itu
beda arah denganku. Terpaksa aku harus menyebrang sendiri sekarang.
Oke, baiklah Lalita... tenang dan waspada. Batinku berbicara.
Kakiku mulai turun mendekati mulut jalan. Ya ampun, rasanya tadi mudah sekali
bapak itu melenggang ke tengah jalan.
Setelah lama
mempersiapkan hati untuk menyebrang. Akhirnya aku mulai melangkah sebelum
tiba-tiba ponselku bergetar dan aku segera berlari kembali ke perbatasan jalan.
Ah, siapa sih ini yang menelepon..
mengganggu saja!
“Hallo,”
“Hallo Lalita... kamu
ada dimana? Kok rame sekali?”
Ternyata Danar yang
menelepon.
“Aku di jalan raya, mau
nyebrang.”
“Mau nyebrang? Memang
kamu bisa nyebrang?”
“Nggak. Makanya ini
nggak nyebrang-nyebrang dari tadi. Huh.”
“Hei, kamu jangan nekat!
Kamu ada dimana sekarang? Memang mau kemana? Aku jemput yah?”
“Nggak tahu dimana,
pokoknya perempatan abis aku naik kopaja dari rumah. Aku mau ke Salemba, mau
ngasih esai buat beasiswa yang seminggu ini aku tulis.”
“Perempatan apa namanya?
Tunggu aku jemput yah, jangan nyebrang dulu!”
“Nggak tahu namanya,
pokonya perempatan pertama dari rumah. Aku ada di tengah jalan, masa mau nunggu
kamu? Lamaaa...”
“Di tengah jalan?! Kamu
nyebrang sendiri kesana??”
“Nggak, bareng sama
bapak-bapak.”
“Terus sekarang mau
nyebrang ke jalan satunya sama siapa?”
“Sendirian...” Aku
menjawab pelan. Ngeri membayangkan kalau sesuatu terjadi.
“Aduh... tunggu disana,
aku jemput kamu yah! Tunggu!”
Lalu telepon terputus.
Aku kembali dalam
kegalauan apakah aku harus nekat menyebrang atau menunggu Danar. Tapi, menunggu
Danar di tengah perbatasan jalan seperti ini? Rasanya aku bakal mati gaya.
Sudahlah, kuputuskan untuk menyebrang saja.
Kaki mungilku mulai
melangkah turun. Berjalan selangkah, lalu menengok ke kanan sembari mengangkat
tangan kananku. Beberapa mobil berhenti. Aku berjalan pelan sampai memasuki
kawasan mobil yang datang dari arah kiri. Tangan kiriku mulai terangkat
perlahan. Sebuah truk besar melintas hanya tiga jengkal dari hadapanku. Lalu
dibelakangnya sebuah mobil APV silver berhenti dan mempersilahkan aku lewat.
Sudah hampir sampai ke tepi, dan aku mulai berlari, sampai akhirnya sesuatu
menyambar meninggalkan rasa sakit di kakiku dan membuat suaraku tercekat karena
rasa kaget yang luar biasa.
Lalu semua gelap.
...
Aku membuka kedua mataku
dan mendapati ruangan berbau menyengat yang tak kusukai. Aku terbaring di kamar
yang jelas-jelas bukan kamarku. Mataku menangkap gambar muka Danar yang
tersenyum.
“Kamu udah bangun? Ada
yang sakit?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng pelan.
“Tapi kakiku ngilu.”
Danar terlihat seperti
menahan tawa. Aku yakin ini di rumah sakit. Dan pasti terjadi sesuatu padaku
makanya aku bisa berada disini. Sesuatu yang menyambarku tadi pastilah mobil
besar yang membuat kakiku ngilu. Tapi, kenapa Danar malah ingin tertawa?
“Kenapa?” Akhirnya aku
bertanya.
“Nggak apa-apa. Lain
kali kalo nyebrang hati-hati yah...”
Aku melengos. Tuh kan,
aku jadi korban tabrak lari mobil-mobil di jalan.
“Siapa yang bawa aku ke
rumah sakit? Kamu datang pas aku udah kecelakaan atau orang lain yang bawa aku
ke rumah sakit? Aku jadi korban tabrak lari yah? Terus ini kaki aku kenapa?
Nggak patah kan?” Berondong pertanyaan keluar dari mulutku.
“Pelan-pelan, sayang...”
Danar menenangkan. “Kamu masih shock
yah?”
Aku mengangguk lemah.
“Yaudah, aku jelasin
yah. Tadi pas aku datang, kamu lagi dikerubungin banyak orang. Kamu pingsan di
pinggir jalan. Kata orang-orang, kamu ditabrak bajaj waktu lari ngelewatin
mobil APV yang berenti. Kan aku bilang, jangan nyebrang dulu sebelum aku
datang...” Danar menjelaskan pelan-pelan.
Hah? Apa Danar bilang? Ditabrak bajaj?! Oh, God... Batinku menganga,
bersamaan dengan mulutku.
“Kamu harus dirawat dulu
minimal 3 hari disini, supaya proses penyembuhannya cepet. Kaki kamu memar dan
bengkak, besok pagi dokter mau cek kaki kamu pake sinar-x, supaya mereka tahu
apakah kaki kamu patah atau nggak.. Aku udah telpon mama sama papa kamu, tapi
mereka baru bisa kesini nanti malem. Jadi, aku bakal nemenin kamu dulu sampai
orang tua kamu dateng, yah..” Danar menjelaskannya sembari mengusap punggung
tanganku.
“Esainya????” Tiba-tiba
aku teringat maksud dan tujuanku ada di jalan raya hingga bisa tertabrak bajaj.
“Esainya kamu simpen
dimana?”
“Di map. Mapnya aku
pegang tadi waktu nyebrang. Sekarang kemana?”
“Loh... kok nanya aku?
Aku nggak tahu. Tadi waktu sampe di tempat kamu pingsan, aku nggak liat ada
map. Dan lagi, aku langsung gendong kamu ke mobil karena takut kamu
kenapa-napa..” nada suara Danar terdengar merasa bersalah.
Aku makin melengos dan
menghela nafas panjang. “Esai itu aku bikin berhari-hari. Dengan panas-panasan,
dan beberapa kali dihukum guru gara-gara bikin esai itu. Karena jarang-jarang,
ada beasiswa ke luar negeri apalagi Perancis, yang persyaratannya menulis esai,
biasanya kan adu asah otak atau lomba fashion
designer. Ditambah lagi, satu-satunya keahlian aku itu menulis.. harusnya
beasiswa ini jadi peluang terbesarku untuk ke Perancis...” Suaraku mulai
bergetar.
Danar mengelus
punggungku beberapa kali. Dan aku meneruskan kembali kata-kataku.
“Tapi sekarang,
kesempatan yang tadinya ada di depan mata itu harus hilang, gara-gara aku
ketabrak bajaj? Dan hari dimana aku ketabrak bajaj sialan ini adalah waktu aku
mau ngumpulin esai itu ke panitia, sehari sebelum penutupan. Konyol, kan? Dan
gara-gara ketabrak bajaj juga, aku harus nginep di rumah sakit untuk
penyembuhan kaki aku yang bengkak ini. Sampai akhirnya, sekarang aku harus
bener-bener menyerah pada kesempatan beasiswa itu, karena besok pendaftarannya
sudah ditutup. Ditambah lagi, hasil esaiku itu sekarang hilang entah kemana? Great!” Aku menutup mukaku yang mulai
merah karena emosi. Pundakku bergetar naik-turun pertanda aku sedang menangis.
Danar mencoba
menenangkan dengan merangkulku.
“Semua akan baik-baik
aja, Lalita.. ambil hikmah dari kejadian ini, bahwa Tuhan punya rencana lain
untukmu. Dan bahwa keinginan tidak melulu sesuai dengan kenyataan. Kamu harus
tegar yah...” Danar menasihati aku yang masih sesenggukan dengan halus.
...
Seminggu berlalu dari
kejadian Parisku tertabrak bajaj itu. Pamflet kuning yang ada di mading
sekolahpun segera aku cabut.
“Kesal yah liat pamflet
kuning bergambar menara eiffel itu? Hehe.” Suara Danar menelusup di telingaku.
Membuat aku mendelik kesal padanya, lalu memukulnya.
“Eh iya, ingat nggak
lusa hari apa?” Danar menggoda. Lusa adalah hari ulang tahunku yang ke-17
tahun.
“Nggak inget tuh..”
Kataku sembari melenggang pergi.
“Masa? Lusa nanti gadis
kesayangan aku sweet seventeen loh... kamu dateng yah?” Katanya setengah
tertawa.
“Dateng? Kemana?”
Langkahku terhenti.
“Ke taman kota. Jam 7
malem. Oke? See you there..” Ujar
Danar. Lalu pergi.
Alisku naik melihat
tingkah laki-laki jangkung yang melangkah menjauhiku itu.
Sepulang sekolah, Danar
tidak menghubungiku. Tumben sekali. Tapi aku tidak terlalu peduli, karena aku
masih kesal dengan hayalanku tentang Paris ketabrak bajaj minggu lalu. Impianku
melihat kota Paris yang penuh dengan pancaran cahaya dari lampu-lampu jalanan
yang nampak romantis tiba-tiba hilang dengan munculnya gambar oranye yang nyeruduk. Hufft.
Keesokan harinya, Danar
pun tak terlihat. Ponselnya tidak aktif, dan teman-temannya bilang dia tidak
masuk kelas hari ini. Tapi, aku tidak percaya Danar bolos sekolah tanpa
memberitahu aku? Di tengah kebingungan, tiba-tiba aku teringat kata-kata Danar
tentang taman kota. Mau apa dia
malam-malam nanti di taman kota?
...
Taman Kota. Pukul 7
malam.
Aku datang dengan
setelan manis. Siang tadi, teman sekelas Danar mengatakan malam ini aku harus
tampil cantik dan feminin. Yah, baiklah, aku turuti.
Kakiku melangkah
menimbulkan ketukan merdu berirama. Di hadapanku, ada seorang laki-laki muda
yang perawakannya sangat aku kenal. Danar, berdiri membawa seikat mawar dengan kemeja
hitam rapi nan maskulin, sembari menyunggingkan senyum khasnya, dia
menghampiriku.
“Selamat ulang tahun,
sayang... Selamat bertemu angka 17 mu..” Bisiknya lembut sembari menyodorkan
bunga mawar yang semerbak. Membuat aku bergidik namun tersenyum malu. Lalu dia
menuntunku memasuki kawasan taman sembari menutup mataku dengan kedua
tangannya.
“Sekali lagi, selamat
ulang tahun Lalita... semoga hari ini menjadi 17 tahun paling berkesan
untukmu.” Bisik Danar lagi sembari perlahan membuka tangannya, dan... membuatku
terpana.
Dihadapanku kini ada
banyak cahaya. Pohon-pohon di sekitar taman dikelilingi oleh lampu mungil
warna-warni, pusat taman yang alasnya terbuat dari beton dikelilingi oleh lilin
mungil nan romantis. Lalu terdengar lantunan lagu romantis yang sayup-sayup
dari tape di samping pohon. Lagu If You’re Not The One dari Daniel B mengiringi
malam sweet seventeenku dengan Danar. Di tengah lapangan beton itu terlihat
meja dinner yang sangat romantis. Dan aku juga terpana dengan replika Eiffel Tower yang ada di samping meja
dinner yang setinggi tubuh Danar.
Ya ampun... Danar benar-benar anugerah Tuhan yang manis!
“Mau berdansa, tuan
putri?” Tangannya menjulur dihadapanku. Aku melting. Dan menerima tawaran
berdansanya.
“Kamu... penuh kejutan.
Makasih yah..” Ucapku sembari berdansa.
“Aku harap, semua ini
sedikit mengobati keinginanmu pergi ke Paris dan melihat menara Eiffel.” Ucapnya
tersenyum.
Kini duet lagu A Whole
New World yang terdengar sayup-sayup mengiringi kami berdansa.
“I love you, Danar...”
Bisikku dengan mata berkaca.
“Love you too, Lalita...
I love you so much...” Danar mengecup keningku.
...
xixixi, deadliner sih :P
BalasHapussiapa deadliner? *celingak celinguk* hahaha
BalasHapus