Langsung ke konten utama

Parisku, Tertabrak Bajaj!




Ketika mimpi sudah di depan mata...

Selalu ada yang tak terduga, dan membuat dilema..

Kakiku seketika mematung di depan mading sekolah yang hari ini tampak amat sangat menarik di mataku. Disana terpampang sebuah pamflet berukuran 15x20cm berwarna kuning yang sangat menggoda. Walaupun ukuran pamflet kuning itu kalah dengan ukuran pamflet disampingnya yang berukuran mungkin 60x30cm, tapi mataku masih bisa menangkap dengan gesit isi dari pamflet kuning itu. Aku membaca kata perkata yang tertulis di pamflet itu dengan seksama.
“Beasiswa serta pertukaran pelajar ke Perancis. Caranya dengan membuat esai tentang Perancis dan Jakarta atau kota besar lainnya yang menjadi tempat tinggalmu. Batas waktu tanggal 16 September 2012. Kumpulkan esai terbaikmu ke panitia yang ada di kotamu.” Bibirku membuka dan mengatup dengan berirama.
Tanggal 16 itu satu minggu dari sekarang, berarti harus cepet-cepet bikin esai nih..
...
Sepulang sekolah, aku berniat jalan-jalan ke taman kota dengan berjalan kaki. Sembari memeluk sebuah buku catatan dan pulpen, aku berharap dapat menulis sesuatu untuk esaiku di sepanjang perjalanan kakiku.
Jejak demi jejak aku tinggalkan dibelakangku, tapi buku catatanku masih saja kosong. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sebuah warung sembari meminum teh botolan menghadap ke jalan. Pemandangan pertama yang tertangkap mataku adalah barisan mobil dan motor yang berdesak-desakan dibarengi gema klakson disana-sini. Seketika pulpenku mulai mengeluarkan tintanya merangkai beberapa kata.
Jakarta adalah kotanya macet, banyak faktor yang menyebabkan hal ini, misalnya banyaknya kendaraan pribadi, penataan jalan yang berantakan, ditambah pengguna jalan yang tidak tahu aturan, atau petugas lalu lintas yang tidak bisa tegas. Hal ini membuat Jakarta menjadi tidak nyaman. Senyaman Perancis yang memiliki penataan jalan cukup baik disertai pengguna jalan yang sangat tahu aturan, tentu saja.
Lalu aku menutup buku catatanku dan berlenggang pulang.
Esok harinya, aku melakukan hal yang sama. Aku menulis segala keluhanku tentang Jakarta-tempat tinggalku-dengan sangat luwes. Wajar saja, wong Jakarta memang kota yang udaranya saja dipenuhi umpatan dan keluhan dari penghuninya, makanya Jakata selalu panas.
Sudah hampir satu halaman aku menulis tentang kota Jakarta yang amat sangat berbeda dengan kota Paris atau negara Perancis. Dari mulai angkutan umum yang minim fasilitas, kriminalitas, penumpang yang urakan dan membuat tidak nyaman, tempat-tempat bersejarah yang tak terawat, sampai pola pendidikan yang menyulitkan -yang idenya datang saat aku telat masuk kelas selepas istirahat makan siang dan dihukum mengerjakan soal yang jelas-jelas aku tidak bisa- pokoknya semua unek-unekku tentang Jakarta.
...
Tiga hari berlalu, esaiku sudah satu setengah halaman. Aku membacanya berulang-ulang sembari menikmati cokelat batang dengan nikmat.
“Enak banget makan cokelatnya..” Ujar suara laki-laki yang aku kenal. Aku meliriknya. Ah, iya, itu Danar, pacarku.
Aku tersenyum bungah dengan cokelat yang belepotan. Danar membersihkan sisa-sisa cokelat di pinggiran bibirku dengan lembut.
“Baca apa?” Tanyanya sambil melirik buku catatanku.
Aku menyodorkan buku berwarna biru itu padanya. “Kasih pendapat ya.” Kataku.
Bola mata Danar terlihat naik turun kekiri dan kekanan membaca tulisanku.
“Esai buat beasiswa ke Perancis, lagi? Bagus, seperti biasa. Kamu pandai merangkai kata.” Ujar Danar. Kurang memuaskan. Tapi aku tersenyum.
“Jadi karena ini, kamu susah aku temuin dan susah aku hubungin?” Danar bertanya lagi.
“Eh? Emang aku susah dihubungin? Aku pikir kamu lagi sibuk sama urusan OSIS, makanya kamu nggak hubungin aku.” Kataku polos.
“Nggak hubungin kamu? Lalita... sayang... aku telpon kamu lebih dari dua puluh kali kemarin, tapi handphone kamu nggak aktif. SMS aku juga pending semua. Aku pikir, kamu nggak mau diganggu...” Ujar Danar sembari menarik hidungku yang tidak terlalu bangir.
“Kamu telpon aku? Masa?” Aku menganga. Hampir saja aku lupa kalau selama menulis esai, aku sama sekali tidak melihat kabar terbaru di ponselku. Tanganku merogoh saku rok dan bajuku, tapi aku tidak menemukan ponselku dimana-mana. Lalu mataku beradu pandang dengan Danar yang mulai tersenyum.
“Kenapa? Ketinggalan handphone­-nya?” Danar menebak dengan jitu. Aku nyengir perlahan.
“Kamu itu, kalo udah soal Paris, lupa segalanya. Jangan-jangan kamu juga lupa kalo kamu punya aku?” Danar menyindir.
“Maaf... abis waktunya cuma seminggu..” Kataku dengan amat bersalah. Tapi Danar malah tersenyum dan membelai rambutku penuh kasih sayang. Ya, itulah Danar. Pacarku yang paling manis. Aku selalu berharap bisa pergi ke Paris bersamanya. Suatu saat nanti.
...
Namaku Lalita Sanita. Anak tunggal dari pasangan suami istri yang keduanya bekerja sebagai konsultan bisnis. Aku duduk di kelas 3 SMA swasta favorit di Jakarta. Dan Danar, adalah pacarku yang selama tujuh bulan ini selalu menemaniku dengan sepenuh hatinya. Danar adalah wakil ketua OSIS, dia lumayan tampan dan sangat pintar dalam berhitung. Sedangkan aku, gadis berdarah Sunda Jawa yang tidak terlalu cantik, tapi tidak jelek juga. Danar bilang, aku ini pas. Tidak terlalu cantik untuk disukai banyak laki-laki lain tapi juga tidak jelek untuk dikenalkan pada teman-teman cowoknya. Satu hal yang bisa aku banggakan dari diriku adalah aku begitu terobsesi dengan keromantisan kota Paris dan melihat eiffel tower dari dekat. Berkat itu, aku jadi cukup pandai menulis terutama untuk cerita-cerita romantis. Aku pernah memenangkan sayembara menulis cerita cinta yang diselenggarakan oleh salah satu produk body mist beken berkat cerita cinta berlatar kota Paris yang kukirim.
Dan aku beruntung, Danar tak pernah keberatan dengan obsesiku terhadap Paris ini. Dia malah selalu mendukungku untuk menggapai impian besarku itu. Aah, Danar memang anugerah!
...
Sudah H-1 sebelum penutupan. Hari ini aku berniat untuk mengirim esaiku yang berjumlah hampir dua lembar ini pada panitia beasiswa yang berada di daerah Salemba. Pukul 10 pagi aku sudah bertengger di pinggir jalan menunggu taksi kosong. Penerimaan esai dibuka dari jam 10 sampai jam 2 siang.
Lima belas menit mematung, tapi taksi yang kuharapkan tak kunjung berhenti. Tak mau lama-lama berdiri, akhirnya aku memutuskan naik angkutan umum. Yah, kopaja memang banyak berhenti dihadapanku dari tadi. Ah, berada di dalam besi berbentuk balok ini ternyata sangat panas. Ditambah lagi penumpang disebelahku yang menyeruakkan bau minyak urut yang sangat mengganggu. Akhirnya aku segera turun di perempatan yang aku tidak tahu namanya.
“Ah, bisa muntah gue lama-lama ada di dalem!” Aku mengumpat.
Sepuluh menit mematung disana, tetap saja tidak ada taksi kosong yang berhenti. Heran, kenapa hari ini semua taksi menghindariku?.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Akhirnya aku bertanya pada tukang es kelapa muda cara untuk sampai ke Salemba yang tercepat.
“Oh... mau ke Salemba, neng? Gampang! Neng nyebrang aja noh kesono! Terus setop deh microlet yang ke Salemba...Cepet dah pasti!” Bapak tukang es kelapa itu menjelaskan seperti berteriak dengan logat betawi yang lumayan kental. Aku manggut-manggut sembari berterima kasih.
Dihadapanku kini ada dua jalan besar yang harus aku sebrangi. Tanpa jembatan penyebrangan, tanpa zebra cross dan lampu penyebrangan, serta tak ada satupun polisi yang bisa dimintai tolong. Oh, ya ampun...
Kepalaku menengok kekanan dan kekiri. Lalu mengumpat. “Kenapa mobil disini pada kenceng-kenceng banget sih?! Gue nggak mau jadi korban tabrak lari mobil-mobil mewah itu aah...” mulutku bersungut. Aku melihat jam, sudah hampir jam setengah dua belas.
Lalu aku melihat seorang bapak yang siap menyebrang tidak jauh dari posisiku berdiri. Segera saja kakiku beringsut mendekati bapak berkumis itu untuk menyebrang bersama –atau lebih tepatnya bapak itu meyebrangkan aku-
Yeah! Selesai dengan jalan besar pertama. Tinggal satu jalan lagi untuk sampai ke sebrang. Aku melirik bapak berkumis tadi yang menjauh dariku. Ah, sial. Ternyata bapak itu beda arah denganku. Terpaksa aku harus menyebrang sendiri sekarang.
Oke, baiklah Lalita... tenang dan waspada. Batinku berbicara. Kakiku mulai turun mendekati mulut jalan. Ya ampun, rasanya tadi mudah sekali bapak itu melenggang ke tengah jalan.
Setelah lama mempersiapkan hati untuk menyebrang. Akhirnya aku mulai melangkah sebelum tiba-tiba ponselku bergetar dan aku segera berlari kembali ke perbatasan jalan. Ah, siapa sih ini yang menelepon.. mengganggu saja!
“Hallo,”
“Hallo Lalita... kamu ada dimana? Kok rame sekali?”
Ternyata Danar yang menelepon.
“Aku di jalan raya, mau nyebrang.”
“Mau nyebrang? Memang kamu bisa nyebrang?”
“Nggak. Makanya ini nggak nyebrang-nyebrang dari tadi. Huh.”
“Hei, kamu jangan nekat! Kamu ada dimana sekarang? Memang mau kemana? Aku jemput yah?”
“Nggak tahu dimana, pokoknya perempatan abis aku naik kopaja dari rumah. Aku mau ke Salemba, mau ngasih esai buat beasiswa yang seminggu ini aku tulis.”
“Perempatan apa namanya? Tunggu aku jemput yah, jangan nyebrang dulu!”
“Nggak tahu namanya, pokonya perempatan pertama dari rumah. Aku ada di tengah jalan, masa mau nunggu kamu? Lamaaa...”
“Di tengah jalan?! Kamu nyebrang sendiri kesana??”
“Nggak, bareng sama bapak-bapak.”
“Terus sekarang mau nyebrang ke jalan satunya sama siapa?”
“Sendirian...” Aku menjawab pelan. Ngeri membayangkan kalau sesuatu terjadi.
“Aduh... tunggu disana, aku jemput kamu yah! Tunggu!”
Lalu telepon terputus.
Aku kembali dalam kegalauan apakah aku harus nekat menyebrang atau menunggu Danar. Tapi, menunggu Danar di tengah perbatasan jalan seperti ini? Rasanya aku bakal mati gaya. Sudahlah, kuputuskan untuk menyebrang saja.
Kaki mungilku mulai melangkah turun. Berjalan selangkah, lalu menengok ke kanan sembari mengangkat tangan kananku. Beberapa mobil berhenti. Aku berjalan pelan sampai memasuki kawasan mobil yang datang dari arah kiri. Tangan kiriku mulai terangkat perlahan. Sebuah truk besar melintas hanya tiga jengkal dari hadapanku. Lalu dibelakangnya sebuah mobil APV silver berhenti dan mempersilahkan aku lewat. Sudah hampir sampai ke tepi, dan aku mulai berlari, sampai akhirnya sesuatu menyambar meninggalkan rasa sakit di kakiku dan membuat suaraku tercekat karena rasa kaget yang luar biasa.
Lalu semua gelap.
...
Aku membuka kedua mataku dan mendapati ruangan berbau menyengat yang tak kusukai. Aku terbaring di kamar yang jelas-jelas bukan kamarku. Mataku menangkap gambar muka Danar yang tersenyum.
“Kamu udah bangun? Ada yang sakit?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng pelan. “Tapi kakiku ngilu.”
Danar terlihat seperti menahan tawa. Aku yakin ini di rumah sakit. Dan pasti terjadi sesuatu padaku makanya aku bisa berada disini. Sesuatu yang menyambarku tadi pastilah mobil besar yang membuat kakiku ngilu. Tapi, kenapa Danar malah ingin tertawa?
“Kenapa?” Akhirnya aku bertanya.
“Nggak apa-apa. Lain kali kalo nyebrang hati-hati yah...”
Aku melengos. Tuh kan, aku jadi korban tabrak lari mobil-mobil di jalan.
“Siapa yang bawa aku ke rumah sakit? Kamu datang pas aku udah kecelakaan atau orang lain yang bawa aku ke rumah sakit? Aku jadi korban tabrak lari yah? Terus ini kaki aku kenapa? Nggak patah kan?” Berondong pertanyaan keluar dari mulutku.
“Pelan-pelan, sayang...” Danar menenangkan. “Kamu masih shock yah?”
Aku mengangguk lemah.
“Yaudah, aku jelasin yah. Tadi pas aku datang, kamu lagi dikerubungin banyak orang. Kamu pingsan di pinggir jalan. Kata orang-orang, kamu ditabrak bajaj waktu lari ngelewatin mobil APV yang berenti. Kan aku bilang, jangan nyebrang dulu sebelum aku datang...” Danar menjelaskan pelan-pelan.
Hah? Apa Danar bilang? Ditabrak bajaj?! Oh, God... Batinku menganga, bersamaan dengan mulutku.
“Kamu harus dirawat dulu minimal 3 hari disini, supaya proses penyembuhannya cepet. Kaki kamu memar dan bengkak, besok pagi dokter mau cek kaki kamu pake sinar-x, supaya mereka tahu apakah kaki kamu patah atau nggak.. Aku udah telpon mama sama papa kamu, tapi mereka baru bisa kesini nanti malem. Jadi, aku bakal nemenin kamu dulu sampai orang tua kamu dateng, yah..” Danar menjelaskannya sembari mengusap punggung tanganku.
“Esainya????” Tiba-tiba aku teringat maksud dan tujuanku ada di jalan raya hingga bisa tertabrak bajaj.
“Esainya kamu simpen dimana?”
“Di map. Mapnya aku pegang tadi waktu nyebrang. Sekarang kemana?”
“Loh... kok nanya aku? Aku nggak tahu. Tadi waktu sampe di tempat kamu pingsan, aku nggak liat ada map. Dan lagi, aku langsung gendong kamu ke mobil karena takut kamu kenapa-napa..” nada suara Danar terdengar merasa bersalah.
Aku makin melengos dan menghela nafas panjang. “Esai itu aku bikin berhari-hari. Dengan panas-panasan, dan beberapa kali dihukum guru gara-gara bikin esai itu. Karena jarang-jarang, ada beasiswa ke luar negeri apalagi Perancis, yang persyaratannya menulis esai, biasanya kan adu asah otak atau lomba fashion designer. Ditambah lagi, satu-satunya keahlian aku itu menulis.. harusnya beasiswa ini jadi peluang terbesarku untuk ke Perancis...” Suaraku mulai bergetar.
Danar mengelus punggungku beberapa kali. Dan aku meneruskan kembali kata-kataku.
“Tapi sekarang, kesempatan yang tadinya ada di depan mata itu harus hilang, gara-gara aku ketabrak bajaj? Dan hari dimana aku ketabrak bajaj sialan ini adalah waktu aku mau ngumpulin esai itu ke panitia, sehari sebelum penutupan. Konyol, kan? Dan gara-gara ketabrak bajaj juga, aku harus nginep di rumah sakit untuk penyembuhan kaki aku yang bengkak ini. Sampai akhirnya, sekarang aku harus bener-bener menyerah pada kesempatan beasiswa itu, karena besok pendaftarannya sudah ditutup. Ditambah lagi, hasil esaiku itu sekarang hilang entah kemana? Great!” Aku menutup mukaku yang mulai merah karena emosi. Pundakku bergetar naik-turun pertanda aku sedang menangis.
Danar mencoba menenangkan dengan merangkulku.
“Semua akan baik-baik aja, Lalita.. ambil hikmah dari kejadian ini, bahwa Tuhan punya rencana lain untukmu. Dan bahwa keinginan tidak melulu sesuai dengan kenyataan. Kamu harus tegar yah...” Danar menasihati aku yang masih sesenggukan dengan halus.
...
Seminggu berlalu dari kejadian Parisku tertabrak bajaj itu. Pamflet kuning yang ada di mading sekolahpun segera aku cabut.
“Kesal yah liat pamflet kuning bergambar menara eiffel itu? Hehe.” Suara Danar menelusup di telingaku. Membuat aku mendelik kesal padanya, lalu memukulnya.
“Eh iya, ingat nggak lusa hari apa?” Danar menggoda. Lusa adalah hari ulang tahunku yang ke-17 tahun.
“Nggak inget tuh..” Kataku sembari melenggang pergi.
“Masa? Lusa nanti gadis kesayangan aku sweet seventeen loh... kamu dateng yah?” Katanya setengah tertawa.
“Dateng? Kemana?” Langkahku terhenti.
“Ke taman kota. Jam 7 malem. Oke? See you there..” Ujar Danar. Lalu pergi.
Alisku naik melihat tingkah laki-laki jangkung yang melangkah menjauhiku itu.

Sepulang sekolah, Danar tidak menghubungiku. Tumben sekali. Tapi aku tidak terlalu peduli, karena aku masih kesal dengan hayalanku tentang Paris ketabrak bajaj minggu lalu. Impianku melihat kota Paris yang penuh dengan pancaran cahaya dari lampu-lampu jalanan yang nampak romantis tiba-tiba hilang dengan munculnya gambar oranye yang nyeruduk. Hufft.
Keesokan harinya, Danar pun tak terlihat. Ponselnya tidak aktif, dan teman-temannya bilang dia tidak masuk kelas hari ini. Tapi, aku tidak percaya Danar bolos sekolah tanpa memberitahu aku? Di tengah kebingungan, tiba-tiba aku teringat kata-kata Danar tentang taman kota. Mau apa dia malam-malam nanti di taman kota?
...
Taman Kota. Pukul 7 malam.
Aku datang dengan setelan manis. Siang tadi, teman sekelas Danar mengatakan malam ini aku harus tampil cantik dan feminin. Yah, baiklah, aku turuti.
Kakiku melangkah menimbulkan ketukan merdu berirama. Di hadapanku, ada seorang laki-laki muda yang perawakannya sangat aku kenal. Danar, berdiri membawa seikat mawar dengan kemeja hitam rapi nan maskulin, sembari menyunggingkan senyum khasnya, dia menghampiriku.
“Selamat ulang tahun, sayang... Selamat bertemu angka 17 mu..” Bisiknya lembut sembari menyodorkan bunga mawar yang semerbak. Membuat aku bergidik namun tersenyum malu. Lalu dia menuntunku memasuki kawasan taman sembari menutup mataku dengan kedua tangannya.
“Sekali lagi, selamat ulang tahun Lalita... semoga hari ini menjadi 17 tahun paling berkesan untukmu.” Bisik Danar lagi sembari perlahan membuka tangannya, dan... membuatku terpana.
Dihadapanku kini ada banyak cahaya. Pohon-pohon di sekitar taman dikelilingi oleh lampu mungil warna-warni, pusat taman yang alasnya terbuat dari beton dikelilingi oleh lilin mungil nan romantis. Lalu terdengar lantunan lagu romantis yang sayup-sayup dari tape di samping pohon. Lagu If You’re Not The One dari Daniel B mengiringi malam sweet seventeenku dengan Danar. Di tengah lapangan beton itu terlihat meja dinner yang sangat romantis. Dan aku juga terpana dengan replika Eiffel Tower yang ada di samping meja dinner yang setinggi tubuh Danar.
Ya ampun... Danar benar-benar anugerah Tuhan yang manis!

“Mau berdansa, tuan putri?” Tangannya menjulur dihadapanku. Aku melting. Dan menerima tawaran berdansanya.
“Kamu... penuh kejutan. Makasih yah..” Ucapku sembari berdansa.
“Aku harap, semua ini sedikit mengobati keinginanmu pergi ke Paris dan melihat menara Eiffel.” Ucapnya tersenyum.
Kini duet lagu A Whole New World yang terdengar sayup-sayup mengiringi kami berdansa.
“I love you, Danar...” Bisikku dengan mata berkaca.
“Love you too, Lalita... I love you so much...” Danar mengecup keningku.
...



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Pengakuan Kinan

Aku berjalan cepat mengejar bis yang setiap harinya menuntutku untuk lebih gesit dari hari kemarin. Kaki-kaki kecilku melompati genangan demi genangan air sisa hujan semalam. Aku, dengan setelan serba gelap, seragam yang dibalut cardigan hitam, rok abu-abu, black flat shoes , dan tas hitam yang menggantung di pundak tangan kananku. Kaki-kaki kecilku semakin lambat berlari. Deru nafasku semakin jelas terdengar, naik-turun, tak terkendali. Rasanya lelah setiap pagi harus mengejar bis yang sama agar aku bisa sampai di sekolahku yang sangat-sangat jauh itu dengan biaya yang sangat-sangat murah. Jari-jariku melepaskan tiga lembar uang ribuan ke tangan kenek bis yang terus-menerus menggerakkan lengannya naik-turun hingga timbul dentingan-dentingan dari koin yang saling beradu. Aku mendapat kursi di belakang sopir bis. Beruntung, pagi ini aku tidak berdiri dengan tangan kanan terangkat, walaupun, teman sebangku-ku ini juga tidak bisa dikatakan beruntung, bapak setengah ...

Review & Testimoni NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon

Annyeonghaseyooooo ^^ Postingan ini adalah tulisan pertama aku yang mereview sebuah produk skin care Korea yang aku pakai. Fyi guys , tulisan ini bukan endorse or paid promote loh yah, ini murni review atau testimoniku mengenai produk dari merk yang sudah aku pakai dalam beberapa waktu. Here it is .. NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon Produk skin care Korea pertama yang aku review adalah si kuning ini, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Pertama kali tahu soal produk ini dari vlogger favorite aku yang melakukan demo menggunakan Neogen Bio-Peel ini yang keliatannya sangat moist banget sewaktu dipakai. Setelah stalking dan baca review disana-sini, akhirnya aku memutuskan untuk membeli produk Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Kenapa lemon? Padahal Neogen ini mengeluarkan 3 varian yaitu Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Wine, dan Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Green Tea. Jawabannya adalah tergantung kebutuhan kulit ki...

Namaku, Rindu...

Namaku Rindu, Ketika kita tidak saling bertemu Ketika panca indra tak mampu merasakan kehadiran kamu Ketika raga tak bisa lagi merasakan sentuhanmu Dan ketika detak jantung sudah tak berirama jika mengucap namamu Panggil aku rindu, Perasaan sesak di dada yang tak mampu menuruti keinginan jiwa Perasaan sakit saat aku tahu bahwa kamu tak ada lagi di sekeliling raga Aku rindu dan aku tersiksa Sebut aku rindu, Saat air mata menjadi bukti nyata adanya rasa pilu Saat hanya air mata yang mampu ikut merasakan rasa itu Saat air mata, adalah satu-satunya ekspresi jiwa yang bisa diluapkan seketika itu Ketika rindu itu merajalela Aku rindu dan aku sengsara Kenapa kamu harus pergi begitu jauh? Kenapa harus ada jarak untuk perasaan kita? Dan kenapa aku tak mampu untuk menerima jawaban yang ada... Kamu... aku rindu kamu.. Aku tak ingin menyalahkan keadaan, tapi keadaan memaksaku untuk mengumpatnya. Aku benci rasa rindu.. Sesak, kosong, dan merana.. Aku...