Ketahuilah, bahwa cinta tak selamanya
berujung cantik, secantik kamu memulainya.
Aku menghela nafas sangat panjang.
Helaan nafas yang entah keberapa kalinya di pagi ini. Kaki-kaki mungilku
melangkah berat menapaki trotoar demi trotoar menuju sekolah baruku. SMA Jaya
Wijaya, salah satu SMA swasta favorit di kota tempatku tumbuh. Saking
favoritnya, sampai-sampai muncul anggapan bahwa semua siswa-siswi yang masuk
SMA Jaya Wijaya adalah mereka yang terpilih. Bukan terpilih oleh guru, kepala
sekolah atau bahkan nilai, tapi oleh kecantikan dan kepopuleran.
Dan aku memilih masuk SMA Jaya Wijaya.
Tapi aku tidak cantik dan tidak juga populer. “Jadi, bakalan gimana nasib gue di sekolah nanti?” Itulah pertanyaan
terbesarnya.
...
“Dara, mau ke kantin nggak?” Tanya
Elina. Gadis tambun yang aku temui di kelas pertama kali.
Aku tersenyum dan mengangguki
ajakannya. Elina memang tidak cantik, tubuhnya gembul dan tidak terlalu tinggi.
Dia juga tidak populer. Itulah kenapa dia mau berteman denganku.
Mataku menerawang seluruh penjuru
kantin sekolah yang luasnya, hampir seluas arena lapangan tembak. Memperhatikan
tingkah polah gadis-gadis cantik nan menawan yang cekakak-cekikik digoda
laki-laki genit. Dan mencari sosok yang selama ini selalu membuat perasaanku
tertarik-tarik.
“Itu Rangga..” Ucap bibirku seketika,
dibarengi pupil mata yang membesar dan kedua tangan yang mengepal. Reflek
namanya.
“Kenapa, Dar? Lo ngomong sesuatu?”
Elina menyikutku. Membuat lamunanku buyar kesana kemari.
“Hah? Enggak, hehe. Itu, gue pengen beli
siomay..” Kataku agak terbata dengan mata masih menikmati laki-laki jangkung
bernama Rangga itu.
“Hayooo, ketauan! Lo naksir Rangga ya?”
Elina lagi-lagi menyikutku. Aku dengan cepat menutup bibir tebal Elina yang
bicaranya saja sudah seperti teriak.
“Nggak usah keras-keras ngomongnya! Lo
mau bikin gue malu, ya?!” Kataku menahan aral. Elina mengangguk cepat sembari
berusaha melepas kedua tanganku.
“Sorry.. Sorry.. Nggak sengaja, Dar.”
Ujarnya. Aku melengos, berusaha tak melihat tatapan tajam semua mata perempuan
yang ada di sekelilingku.
Sial,
kenapa sebegini menyeramkannya tatapan mata para barbie hidup itu? Batinku saat itu. Barbie hidup? Iya
benar, mereka semua itu barbie hidup. Cewek-cewek cantik berlekuk indah yang
mengandalkan kecantikan untuk menggaet sebuah kepopuleran itu memang pantas
disebut barbie hidup atau barbie bernyawa.
Tapi, walaupun begitu. Sialnya, aku
ingin seperti mereka.
...
Setahun terlewati. Dan aku tahu
ternyata di sekolah ini hanya ada dua strata sosial, yaitu menawan atau membosankan.
Dan tentu saja dengan hidung bantet, kulit sawo matang, pipi gembil, bibir
penuh tak berbentuk, serta lemak lainnya disana-sini. Aku termasuk yang
membosankan. Hah, gimana Rangga bisa
ngelirik gue kalo gue aja nggak menarik buat dilirik? Batinku lagi-lagi
mengeluh.
Aku masuk ke toilet wanita dan
mengurung diri di dalamnya. Sedikit banyak mengutuk diri kenapa dulu aku bisa
nekat meminta orang tuaku untuk memasukkan aku ke SMA ‘favorit’ ini hanya
karena ada Rangga disini. Sedangkan disini aku malah tersiksa dengan semua
deskriminasi paras wajah yang kelewat batas.
“Boro-boro
bisa deket sama Rangga, ngobrol aja susah.” Batinku mengutuk lagi. Rangga adalah laki-laki tampan yang
aku sukai sejak aku bertemu di sekolah menengah pertama. Kala itu, aku belum
tahu bagaimana rasanya minder. Jadi, aku tidak takut untuk menyukai Rangga yang
mukanya kelewat charming. Walau, di
SMP pun aku belum pernah berbincang dengan dia, tapi itu karena dia salah satu
siswa berprestasi yang sangat sibuk. Jadi aku memakluminya. Phew.
Aku bersender di penutup toilet. Tak
menghiraukan ocehan-ocehan yang ada di luar, kecuali..
“Minggu ini gue mau sedot lemak di
dokter langganan gue, sekalian perawatan muka. Jadi gue nggak bisa ikut lo
belanja.” Ujar salah satu gadis.
“Yah, emangnya berat badan lo naik? Gue
saranin sekali-kali lo mesti coba treatmill deh, palingan juga naiknya nggak
nyampe 5 kilo. Jadi nggak usah sedot lemak.” Ujar gadis lainnya.
Percakapan berikutnya sudah tak aku
hiraukan lagi karena otakku sudah menangkap ide yang bagus. Sedot lemak? Tentu
saja bukan. Orangtuaku bisa murka kalau tau anaknya menghabiskan uang untuk
sedot lemak.
“Cinta itu butuh pengorbanan. Jadi,
kalo gue mau Rangga deket sama gue? Ya gue harus berusaha bikin Rangga tertarik
sama gue. Selama ini gue cuma diem dan menghayalkan Rangga ada dalam kehidupan
gue. Sekarang waktunya gue bangkit dan berusaha supaya Rangga bener-bener ada
dalam kehidupan gue. Gue harus jadi cantik!” Patahan kalimat itu terlontar dari
mulutku dibarengi niat yang menggebu. Ya, pelan-pelan aku akan berubah menjadi
gadis secantik barbie.
...
Sudah sebulan aku bolak-balik ke gym untuk melakukan treatmill. Setiap
sore aku jogging keliling komplek tanpa peduli ledekan dari tetangga-tetangga.
Aku rubah pola makananku menjadi makanan sehat dan rendah lemak. Ibuku harus
menggali kocek lebih dalam untuk itu. Dan hari ini, aku berniat pergi ke dokter
kecantikan untuk berkonsultasi bagaimana caranya agar aku jadi lebih cantik.
Aku bergerak sangat cepat. Bahkan, 2
minggu setelah niatku terpanjat, Elina bilang aku terlihat lebih kurus dan
lebih ceria. Well, itu awal yang baik
tentu saja.
Aku juga sempat mengutarakan niatku ini
pada Elina, dan ternyata Elina sangat mendukungku. Aku tak menyangka Elina
benar-benar teman yang baik. Hari ini dia mengantarku ke dokter kecantikan
tempat ibunya bekerja. Aku heran, bagaimana bisa seorang dokter kecantikan
tidak merawat kecantikan anaknya?
Yah, ini dia hariku. Mungkin setelah
hari ini, Rangga akan bisa melihatku bahkan dari jauh sekalipun.
Aku berbincang dengan dokter Andini
alias ibunya Elina selama hampir satu jam. Untung klinik sedang tidak ramai.
Disana, dokter Andini menawarkan beberapa produk kecantikan yang harus aku
gunakan. Mulai dari cream pencerah, cream perawatan, facial scrub, tonik, cream
anti acne, cream peeling dan sebagainya. Intinya, aku harus amat sangat menghemat
uang jajanku untuk membeli semua botol-botol mungil itu. Phew.
“Demi
Rangga...” Batinku menghibur.
...
Satu bulan berlalu.
Dua bulan berlalu.
Tiga bulan berlalu.
...
Aku melenggang anggun di antara kawanan
laki-laki genit yang sedari tadi bersiul-siul. Dengan setelan rok SMA yang
minim dan seragam press body. Aku
berjalan menuju kelas. Mendaratkan bokongku di kursi sebelah Elina yang sedang
asik menggerogoti cokelat.
“Mau?” Elina menawarkan. Aku
menggeleng.
Kini kulitku seputih boneka barbie yang
suka aku mainkan dulu, tubuhku pun sudah berdamai dengan segala jenis baju.
Kini aku berani bersolek ke sekolah dan berani memakai high heels jika hari bebas tanpa takut terlihat jelek, dan aku jadi
sering ke dokter serta ke salon untuk menjaga kecantikanku ini.
Aku tidak sendiri tentu saja. Kini aku
punya teman baru, mereka adalah Saskia dan Ana. Dan yang lebih bagus lagi, kini
aku bisa mengobrol dengan Rangga! Iya, itu yang terbaik. Pengorbananku
membuahkan hasil. Semua rasa sakitku ketika perawatan dulu, kini tidak terasa
setelah Rangga mau berbincang denganku.
“Daraaa, duduk sini
dong! Kita cerita-cerita buat persiapan besok!” Suara Saskia membahana dari
bangku belakang. Aku, tanpa pikir panjang segera menggondol tasku ke sebelahnya
lalu cekakak-cekikik membicarakan persiapan pesta besok. Yap, aku diundang ke
pesta ulang tahun seseorang yang merubahku jadi cantik seperti ini.
Bukan Dokter Andini.
Tapi Rangga! Dia mengundang beberapa siswa di sekolahnya sabtu malam besok.
Lihat? Kalau aku tidak cantik, Rangga tidak akan mau memasukan aku dalam daftar
tamu undangannya.
...
Aku turun dari mobil
Saskia dengan short dress warna
hitam, high heels 10 cm warna senada
dan menggandeng clucth putih yang aku
beli dari hasil tabunganku. Aku membiarkan rambutku yang panjang dan tebal
tergerai menyebarkan wangi ginseng yang khas. Aku baru saja ke salon siang tadi
sembari mencari kado untuk Rangga.
Baiklah, ini dia
pesta ulang tahun Rangga. Megah dan mewah. Sesaat setelah aku menginjakkan kaki
di arena pesta. Aku sudah disiuli oleh beberapa laki-laki tak kukenal.
“Dara..” Seseorang di
sampingku memanggil. Aku menengok dan mendapati sosok Rangga sedang tersenyum
padaku. Aku balas tersenyum.
“Happy Birthday ya
Ngga...” Kataku lembut sembari menyodorkan sepasang sepatu basket yang
dibungkus cantik.
“Makasih... ayo ke
dalem.” Rangga tersenyum lalu menarik lenganku. Oh Tuhan, Rangga menggenggam
tanganku? Rasanya seperti mimpi.
“Ini, minum... pasti
haus kan abis aku ajak lari-lari. Hehe.” Rangga menyodorkan segelas sirup
padaku ketika kami sampai di dalam.
Ya ampun, dia sangat
manis kalau bercanda.
Akhirnya kami
terlibat dalam perbincangan yang seru. Aku tidak percaya, Rangga terus
menemaniku selama aku berada di pesta. Bahkan dia meluncurkan rayuan-rayuan
yang membuatku merasa ada banyak kupu-kupu yang menggelitik perutku. Ya ampun,
Rangga benar laki-laki impianku.
Waktu menunjukkan
pukul 12 malam. Kalau aku tidak diingatkan oleh Saskia dan Ana, mungkin aku
tidak akan pulang sampai Rangga yang mengusirku.
Hah, kebahagiaan
cepat sekali pergi.
Akhirnya aku pulang
dengan segudang kenangan indah yang diciptakan Rangga malam itu.
...
Esok harinya, aku
dihukum ibuku karena pulang larut malam. Phew.
Senin pagi. Aku
berjalan anggun memasuki kelas. Melirik bangku kosong di jejeran depan yang
biasa ditempati Elina. Lalu melewatinya untuk duduk bersama Saskia atau Ana.
Aku mulai melupakan Elina.
“Cie yang abis dibuai
sama Rangga. Haha” Ana nyeletuk diiringi tawa dari Saskia yang membuat aku
malu.
Ringtone ponselku
tiba-tiba berbunyi. Aku cepat-cepat menyuruh bibir Ana dan Saskia untuk diam
karena ini telepon dari Rangga.
Bip.
“Halo?” Kataku
lembut.
“Halo Dara, nanti pas
istirahat bisa ke ruang OSIS, nggak? Ada yang mau aku omongin.” Ujar Rangga
dari balik ponsel.
Dadaku tiba-tiba
menggebu.
“Istirahat? Oh, oke
oke. Nanti aku kesana.” Aku berusaha menjawab dengan tenang.
“Oke deh, sampai
ketemu.”
Bip.
Sesaat perasaanku tak
karuan. Aku membayangkan apa yang akan Rangga bicarakan denganku, apakah dia
akan meluncurkan rayuan gombal lagi? Atau mungkin meluncurkan dialog romantis
yang sangat aku impikan? Atau jangan-jangan hanya ingin membicarakan masalah
proposal pensi? Karena sekarang aku sudah percaya diri untuk jadi anggota OSIS,
bahkan sekretaris OSIS.
“Ya ampun, apapun
itu... jam istirahat cepatlah datang.” Kataku sembari mengepalkan kedua tangan
ke udara.
...
Bel istirahat
berbunyi. Aku segera ke ruang OSIS untuk menemui Rangga yang menjabat sebagai
wakil ketua OSIS. Aku melangkah amat mantap dan penuh percaya diri.
Sesampainya di ruang
OSIS, aku melihat Rangga sedang berbincang dengan Arya, kakak seniornya yang
banyak Rangga ceritakan sewaktu di pesta tempo hari.
“Eh Dara, sini masuk.
Aku kenalin sama kak Arya.” Kata Rangga. Aku masuk perlahan.
Laki-laki bernama
Arya itu mengumbar senyum sangat manis padaku. Aku balas tersenyum.
“Yaudah, kalian
ngobrol aja yah. Aku keluar dulu, takut ganggu. Hehe. Sukses ya kak!” Rangga
menepuk bahu Kak Arya dan meninggalkan kami berdua.
Aku menatap kepergian
Rangga dengan heran.
Apa maksudnya ini? bukannya tadi Rangga
yang memanggilku kemari?
Kak Arya diam.
Sedangkan aku masih keheranan.
Lalu beberapa menit
kemudian Kak Arya tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan enggan.
“Dara... gue.. eh,
maksudnya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, bisa?” Tanya Kak Arya. Aku mengangguk
ragu.
“Silahkan Kak...”
Kataku pelan, masih dengan mata yang menatap kepergian Rangga.
Lalu Kak Arya merubah
posisi duduknya menjadi lebih serius.
“Dara... semenjak aku
kenalan sama kamu waktu itu. Aku udah suka sama kamu. Aku tau kamu pasti kaget karena
ini terlalu cepat. Tapi, jujur.. Aku suka sama kamu, Dara... Aku mau kamu jadi
pacar aku, kamu mau?” Dialog romantis itu seketika meluncur dari bibir Kak Arya
dan membuat dahiku mengkerut dan mulutku menganga.
“Tapi, tadi kan
Rangga yang minta Dara kesini. Dia nggak bilang ada Kak Arya. Aduh, Dara jadi
salting gini..” Aku kelimpungan. Sedangkan Kak Arya hanya terkekeh.
“Kamu lucu, Dara.”
Ujarnya sembari mengusap rambutku. “Iya, tadi aku curhat sama Rangga soal
perasaan aku sama kamu. Dan, Rangga bilang aku harus ungkapin perasaan aku ke
kamu. Rangga yang ngatur ini semua, dia yang bikin kamu supaya datang kesini
tanpa ngasih tau ada aku, supaya kamu surprise
aja. Hehe. Rangga memang ade aku yang paling the best.” Kak Arya bercerita dengan bungah.
Apa dia bilang? Semua ini Rangga yang
atur? Cowok yang gue suka yang atur semua ini supaya gue bisa ditembak sama Kak
Arya? Gue pikir... Rangga suka sama gue... Batinku berkata lirih.
“Jadi perbincangan di
pesta kemaren itu cuma sekedar perbincangan? Aku mengerti sekarang, kenapa kemarin
Rangga banyak sekali menceritakan Kak Arya padaku. Ternyata untuk ini?” Bibirku
bergumam dan wajahku pasti terlihat tak keruan.
“Dara?” Tanya Kak
Arya.
Tanganku mengepal
kuat. Mataku seketika memanas dan pandanganku mulai tak jelas.
Tiba-tiba saja semua
rasa sakit dan rasa lelah dari jerih payahku untuk mempercantik diri menjadi
sangat terasa. Aku mengepal kedua tanganku lebih kuat lagi karena perasaan
sesak di dada yang aku rasakan. Rasanya sesak ketika tau yang menyukaiku adalah
Kak Arya, kakak terdekat Rangga yang tidak mungkin membuat Rangga akan
menyukaiku dan merusak persaudaraan mereka.
“Dara? Kamu kenapa?
Kamu sakit?” Kak Arya mulai cemas dan mendekatiku.
Butiran air mataku sudah
tak mampu lagi bertahan di kelopak matanya. Akhirnya, aku menangis.
Mengeluarkan semua rasa pilu di dada menjadi butiran-butiran air mata di dalam
pelukan Kak Arya, bukan Rangga.
Ternyata benar, bahwa
pengorbanan yang pahit akan sangat terasa ketika keberhasilan itu tak kunjung
tiba. Tapi, aku harus yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Iya,
memang seharusnya aku tidak perlu se-obsesif ini pada Rangga. Sekarang aku sadar,
menjadi diri sendiri dan menjadi diriku yang dulu, memang terasa lebih nyaman
daripada menjadi barbie bernyawa seperti hari ini.
Komentar
Posting Komentar