Langsung ke konten utama

Sebuah Cerita, Sebuah Realita

Dunia ini berputar..
Kadang hitam kadang putih..
Kadang bahagia dan kadang sedih..

Aku termenung di sebuah padang rumput hijau nan luas. Sejauh mata memandang hanya ada rumput dan deretan awan yang biru merekah. Semilir angin membawaku pada banyak cerita yang sarat akan rasa. Sedih, merana, tapi juga bahagia. Terlalu banyak kisah yang berebut ingin kembali diingat oleh memoriku yang sudah menampung banyak masalah ini. Hingga akhirnya, mereka terpaksa mengantri.
Berada di ruangan baru, suasana baru, dan ditengah orang-orang baru yang belum aku kenal. Aku merasa sendirian. Duduk di bangku paling belakang sembari mengutak-atik ponsel bututku menjadi cara paling ampuh untuk membunuh peluang ‘mati gaya’ saat itu. Pukul setengah tujuh pagi, lama kelamaan ruangan ini mulai ramai dipenuhi sosok putih abu sama sepertiku. Perlahan mereka mulai berkubu, mencari teman yang sejenis dengan mereka atau mencari teman yang sudah mereka kenal sebelumnya. Dan aku? Aku masih duduk mengawasi.
Itu adalah suasana di kelas baruku di SMA Cipta Bangsa. Baru kelas sepuluh SMA, dan masih sangat polos. Aku tidak unsocial. Aku memang suka mengawasi. Melihat kepribadian orang-orang disekitarku dan mencoba menerka-nerka orang seperti apa mereka lalu membuktikannya sendiri apakah analisaku benar itu memiliki keasikan tersendiri untukku. Aku bukan psikopat. Aku hanya senang mengamati.
Lalu cerita cintaku dimulai sejak hari pertama aku masuk kelas itu. Cinta pertamaku bukan berasal dari kelas yang aku duduki sekarang. Tapi berasal dari kelas diatas kelasku sekarang. Masih sama-sama kelas sepuluh. Laki-laki berkulit sawo matang itu mulai merebut perhatianku bahkan dari awal kami menjalani masa orientasi siswa. Dia begitu perhatian padaku. Seharipun tidak pernah absen dia menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Dia adalah laki-laki pertama yang akan mengangkat tanganku ketika kakak senior bertanya “siapa yang lagi sakit disini?”. Untungnya, kakak senior hanya bertanya disaat ada siswa yang mengaku sakit saja. Kalau tidak, mungkin aku tidak akan pernah mengikuti kegiatan orientasi ini walaupun setiap hari datang ke sekolah. Haha, dia orang yang sangat spontan.
Lima bulan sudah aku jadi siswa SMA Cipta Bangsa. Lima bulan sudah aku bertukar perhatian dengan laki-laki sawo matang itu.

***

Namaku Larasita, sering dipanggil Sita. Memiliki rambut tebal sebahu. Berkulit cokelat. Wajah proporsional namun dengan tubuh yang standar. Ingat, proporsional bukan berarti cantik, hanya komposisinya pas dan tidak membuat mata sakit saat memandangnya. Suka mendengarkan music klasik. Suka menulis. Dan suka dengan hal-hal berbau seni grafis. Dari sekian banyak hobi tersebut, aku memiliki cita-cita yang sama sekali tidak berhubungan. Aku ingin menjadi orang kantoran. Kantor apa saja, yang penting aku datang dengan menggunakan pakaian seragam rapi dipadu stiletto atau high heels sembari mencangklong tas tangan bermerk terkenal walaupun cuma KW sekian. Yah, intinya aku ini unik. Iya, kan?
Kembali ke laki-laki sawo matang itu. Namanya Reksa. Dia tinggi, rambutnya dipotong tidak terlalu pendek mengikuti tren anak muda saat itu, dan kulitnya sawo matang. Dia salah satu pemain inti tim basket sekolah kami. Dia playboy. Aku tau itu. Kata-katanya padaku bak pujangga cinta saja setiap harinya. Tapi, bukankah kata-kata pujangga cinta itu yang membuat perempuan muda labil sepertiku menyukainya? Haha, sial.
Lima bulan aku dan dia saling bertukar perhatian. Walaupun tanpa ikatan. Ya, aku dan dia sama sekali belum punya komitmen. Kami hanya saling menikmati perhatian satu sama lain . Memang sih, beberapa kali muncul dibenakku tentang meminta sebuah kepastian. Mungkin memang naluri perempuan untuk selalu menanyakan tentang sebuah kepastian dan ketegasan hubungan mereka. Sama sepertiku. Sedangkan bertolak belakang dengan laki-laki yang entah kenapa Tuhan memberikan persepsi mereka tentang kepastian begitu berbeda dengan perempuan. Mereka seakan terlihat menganggap remeh arti sebuah kepastian. Padahal, bagi perempuan, terutama bagiku, kepastian adalah nomor satu. Kenapa? Karena dengan adanya kepastian itu aku dapat menentukan langkahku selanjutnya, apakah aku akan terus melangkah bersamanya atau tidak? Jika Reksa itu memberi kepastian bahwa kami hanya teman, maka aku akan berjalan selayaknya kami berteman. Namun jika Reksa memastikan bahwa kami adalah sepasang kekasih, maka aku akan berjalan bergandengan dengannya agar semua orang yang melihatnya tahu bahwa kami sepasang kekasih hingga tidak ada orang ketiga manapun yang berani mendekat. Sebuah kepastian juga akan menjadi penentu pikiranku tentang laki-laki itu. Laki-laki yang tidak mampu memberiku kepastian, tentu saja tidak akan aku perjuangkan. Itu prinsipku.
Dan Reksa termasuk salah satu laki-laki yang tegas. Untungnya.
Reksa memiliki seorang pacar peninggalan semasa SMP-nya. Sayangnya, aku tidak tahu itu. Kian lama aku kian tenggelam dalam janji-jani manis Reksa tentang sebuah hubungan yang berkomitmen. Kami sudah memiliki panggilan sayang satu sama lain. Tapi, baik aku ataupun dia tidak pernah mengakui masing-masing sebagai pacar jika ada orang bertanya. “Kalian jadian bukan?” Kami hanya saling lirik dan tersenyum penuh arti. Membuat semua orang yang bertanya geleng-geleng kepala dan merasa percuma bertanya pada kami. Haha. Betapa indahnya masa-masa itu. Ya, sayangnya aku bukan tipe perempuan yang dengan mudahnya menganggap ketika aku dan seorang laki-laki tengah dekat, kemudian sudah memiliki panggilan sayang masing-masing, lalu aku menganggap laki-laki itu sebagai pacarku? Haha, tidaklah. Sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan: “Sita, gue suka sama lu, gue sayang sama lu, dan gue pengen lu terus ada di dalam kehidupan gue.. lu mau nggak jadi pacar gue?” alias nembak, menjadi salah satu faktor penting bahwa laki-laki bisa aku anggap pacar atau tidak. Kalau belum ditembak saja seorang perempuan sudah menganggap seorang laki-laki sebagai pacarnya, apalagi kalau ternyata laki-laki itu masih pacar orang seperti Reksa, aku akan bilang.. dia perempuan malang yang takut dan tidak percaya diri terhadap laki-laki yang dia harapkan itu. Mungkin dia sadar dan takut kalau laki-laki itu hanya mempermainkannya dan tidak sungguh-sungguh mencintainya, sehingga dia begitu obsesif dan akhirnya menjadi posesif terhadap laki-laki itu. Maka akan jadi petaka jika sang laki-laki adalah tipe laki-laki yang mudah simpatik dan kurang tegas dalam memutuskan suatu hal, karena pada akhirnya, laki-laki itu akan menyakiti gadisnya pada saat itu, dan lambat laun juga akan menyakiti perempuan obsesif-malang yang menggilainya.
Untungnya, aku bukan si perempuan obsesif-malang itu. Dan Reksa sangat tegas dalam memutuskan pilihan.
Singkat cerita, masa lima bulan tanpa komitmen itu akhirnya menemui ujungnya. Reksa menyatakan dan menanyakan cintanya padaku. Tepat saat hujan di bulan November kala itu, Reksa berpuisi cinta didukung gitar kesayangannya. Aku baru saja akan menaiki tangga menuju kelasnya saat kudapati telingaku mendengar petikan suara gitar yang berasal dari anak tangga paling atas. Reksa disana, duduk bersama gitarnya. Melantunkan nada demi nada cinta untukku. Dan menyatakan bahwa dirinya kini siap untuk bersamaku. Menjagaku.

Cinta itu indah… karena cinta hanya berdua… tidak kesepian seperti sendiri, tidak memusingkan seperti bertiga..

To be continued…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Pengakuan Kinan

Aku berjalan cepat mengejar bis yang setiap harinya menuntutku untuk lebih gesit dari hari kemarin. Kaki-kaki kecilku melompati genangan demi genangan air sisa hujan semalam. Aku, dengan setelan serba gelap, seragam yang dibalut cardigan hitam, rok abu-abu, black flat shoes , dan tas hitam yang menggantung di pundak tangan kananku. Kaki-kaki kecilku semakin lambat berlari. Deru nafasku semakin jelas terdengar, naik-turun, tak terkendali. Rasanya lelah setiap pagi harus mengejar bis yang sama agar aku bisa sampai di sekolahku yang sangat-sangat jauh itu dengan biaya yang sangat-sangat murah. Jari-jariku melepaskan tiga lembar uang ribuan ke tangan kenek bis yang terus-menerus menggerakkan lengannya naik-turun hingga timbul dentingan-dentingan dari koin yang saling beradu. Aku mendapat kursi di belakang sopir bis. Beruntung, pagi ini aku tidak berdiri dengan tangan kanan terangkat, walaupun, teman sebangku-ku ini juga tidak bisa dikatakan beruntung, bapak setengah ...

Review & Testimoni NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon

Annyeonghaseyooooo ^^ Postingan ini adalah tulisan pertama aku yang mereview sebuah produk skin care Korea yang aku pakai. Fyi guys , tulisan ini bukan endorse or paid promote loh yah, ini murni review atau testimoniku mengenai produk dari merk yang sudah aku pakai dalam beberapa waktu. Here it is .. NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon Produk skin care Korea pertama yang aku review adalah si kuning ini, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Pertama kali tahu soal produk ini dari vlogger favorite aku yang melakukan demo menggunakan Neogen Bio-Peel ini yang keliatannya sangat moist banget sewaktu dipakai. Setelah stalking dan baca review disana-sini, akhirnya aku memutuskan untuk membeli produk Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Kenapa lemon? Padahal Neogen ini mengeluarkan 3 varian yaitu Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Wine, dan Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Green Tea. Jawabannya adalah tergantung kebutuhan kulit ki...

Namaku, Rindu...

Namaku Rindu, Ketika kita tidak saling bertemu Ketika panca indra tak mampu merasakan kehadiran kamu Ketika raga tak bisa lagi merasakan sentuhanmu Dan ketika detak jantung sudah tak berirama jika mengucap namamu Panggil aku rindu, Perasaan sesak di dada yang tak mampu menuruti keinginan jiwa Perasaan sakit saat aku tahu bahwa kamu tak ada lagi di sekeliling raga Aku rindu dan aku tersiksa Sebut aku rindu, Saat air mata menjadi bukti nyata adanya rasa pilu Saat hanya air mata yang mampu ikut merasakan rasa itu Saat air mata, adalah satu-satunya ekspresi jiwa yang bisa diluapkan seketika itu Ketika rindu itu merajalela Aku rindu dan aku sengsara Kenapa kamu harus pergi begitu jauh? Kenapa harus ada jarak untuk perasaan kita? Dan kenapa aku tak mampu untuk menerima jawaban yang ada... Kamu... aku rindu kamu.. Aku tak ingin menyalahkan keadaan, tapi keadaan memaksaku untuk mengumpatnya. Aku benci rasa rindu.. Sesak, kosong, dan merana.. Aku...