Hati ini berdebar. Berbunga. Bergejolak.
Hati ini dipenuhi warna merah muda. Digelitiki
ratusan ekor kupu-kupu.
Lagi-lagi, hati ini berbunga. Hati ini jatuh
cinta.
Udara dingin
menulusup tajam ke tulang rusukku. Pukul 10 malam. Aku masih terjaga, dibalut
piyama hitam-putih kegemaranku, memandang ratusan juta bintang yang tertatap
oleh sepasang mata bulatku dari gazebo belakang rumah. Namaku, Alila. Dan aku
pecinta bintang.
Bintang itu genit, selalu kedapatan sedang
memandangku ketika aku mendongak.
Udara yang
sama menelusup tulang rusuk pecinta bintang yang lain. Dia masih terjaga. Memandang
bintang bukan hanya sebagai benda langit tak bernyawa. Di matanya, bintang adalah
anugerah semesta. Cara semesta memberitahu kita, bahwa dunia tak hanya tentang
kita. Ada mereka, bintang-bintang yang seakan berbisik. Baginya, bintang adalah
cara, menyampaikan isi hatinya pada orang terkasihnya. Namanya, Angga. Dan dia
pecinta bintang.
Bintang itu pemalu, katanya.
***
Alarm pagiku
berbunyi. Membuyarkan semua mimpi. Memaksa aku untuk kembali menjalani
aktifitas rutin nan membosankan yang aku miliki.
Mataku terbuka
sedikit, diluar sana langit masih biru pucat. Belum ada tanda-tanda matahari
akan terbit. Aku menggeliat, rasanya ingin menarik selimut lagi sebelum
akhirnya kebiasaanku itu digagalkan oleh Ibuku yang berteriak.
“Teh,
Subuhan dulu, jangan tidur lagi!” Teriaknya dari ruang makan. Aku mengerjap. Seperti
dikagetkan sirine tak terlawan.
Dengan mata
masih setengah terbuka dan badan yang lunglai, aku berjalan ke kamar mandi. Melakukan
apa yang harus dilakukan, lalu kembali ke kamar dengan mata yang lebih segar.
Sesampainya di
kamar, terdengar suara getaran yang aku kenal. Dimana handphone gue? Pikirku.
Mau tidak
mau aku merapikan tempat tidur-tak-berbentuk di kamarku hingga aku menemukan ponsel
yang kucari. Terlihat simbol gagang telepon di layar ponselku. Ada pesan.
Angga : Bangun.....
Aku tersipu.
Seperti sudah menduganya.
Alila : Syudahhhh
Aku
menyimpan persegi panjang warna putih itu. Dan menunaikan kewajibanku.
Selesai menunaikan
kewajibanku, tak sabar jemariku kembali mengambil kembali ponselku. Berharap
ada balasan yang manis.
Angga : pinterrr,
semangat untuk hari ini yaaa :*
Alila : Huuhm,
mas Angga juga semangattt J
Senyumku
makin melebar. Tak tertahan. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang ingin keluar
dari mulutku jika aku membuka mulutku dan tertawa. Walaupun rasa geli itu tak
bertahan lama. Sejenak aku diam, memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu
kupikirkan, kemudian senyumku segera menghilang.
Debar ini adalah miliknya, kupu-kupu ini
adalah karena-nya, namun rasa ini tidak bisa dimilikinya.
***
Namaku Alila,
seorang gadis biasa, dengan sejuta cerita. Pecinta bintang, pengagum cahaya. Bekerja
sebagai salah satu karyawan di perusahaan televisi swasta. Dan tengah dilanda
cinta, yang tak semestinya dengan rekan kerja sehari-hariku bernama Angga. Pecinta
bintang, pemuja semesta. Lelaki biasa dengan tingkat kelembutan luar biasa,
penuh cinta, dan penuh perhatian. Aku menyukainya. Sungguh, bahkan aku mengaku
padanya bahwa aku menyukainya. Dia menerimanya, rasa sukaku, dia membalasnya,
dengan rasa suka yang sama, hanya, di dalam harapan yang berbeda.
Baginya, aku hanya seorang adik. Bagiku, dia
hanya seorang kakak. Alibi klise, namun nyata. Kami terjebak, dalam rasa yang
singgah di waktu yang salah.
Malam ini
aku akan bertemu dengannya. Tidak istimewa. Hanya, makan, berdua. Tapi aku
menantinya.
Sebuah warung
tenda di dekat pelataran tempat kami bekerja menjadi pilihan kami malam itu,
juga di malam-malam sebelumnya dan mungkin di malam-malam selanjutnya. Suasana warung
tenda yang gaduh, ramai dan penuh polutan tidak kuhiraukan. Entahlah kalau dia,
tapi aku lihat dia tidak terlalu bermasalah dengan itu.
“Mau makan
apa?” Tanyanya.
“Seperti
biasa, cumi.” Jawabku dengan nada ceria. Dia tersenyum.
“Suka banget
seafood?” Tanyanya lagi.
“Absolutely!”
Kataku mantap. Lalu dia tersenyum lagi dan membelai kepalaku. Aku merona.
“Sebentar
yah..” Katanya sembari mengambil ponsel dari sakunya. Aku mengangguk patuh.
Wajahnya tertunduk
pada jemarinya yang sibuk berbicara melalui ponsel. Aku memandangnya. Entah sampai
kapan, aku akan memandangnya dengan tatapan ini.
“Siapa mas?”
Aku buka suara. Terpaksa.
“Hehe,
biasa, laporan dulu sama pacar.” Jawabnya sembari tertawa jahil. Aku ikut
tertawa.
“Gue juga
deh laporan sama pacar dulu.” Tambahku.
“Emang lu
punya pacar?!” Tukasnya sembari mentoyor keningku dengan alis terangkat. Menyebalkan
memang kaum adam satu ini kalau sudah bertanya soal pacar.
“Punya! Pacar
yang lagi bahagiain pacarnya. Kenapa emang?” Jawabku asal.
Dia tertawa.
“Hahaha, cup cup cup, yaudah ini udah kok udah. Pacar guenya udah di rumah. Tadi
cuma ngabarin aja.” Dia menghiburku. Seakan tahu aku terluka jika dia menyebut
kekasihnya di hadapanku.
“Yeee, emang
gue ngomongin elo, mas? Hahaha” Ujarku meledek. Iya, mungkin sekilas aku
memikirkannya. Tapi, hanya sekilas, lalu segera kuusir dengan kasar.
Tak pernah sekalipun aku berpikir, akan
jatuh pada laki-laki yang sudah dimiliki gadis lain. Aku tidak sejahat itu,
sungguh.
“Ayo
makan...” Katanya. Lalu merunduk dalam sikap berdoa. Disaat seperti ini,
biasanya aku akan langsung berhenti berbicara dan mengikutinya berdoa di dalam
hati. Mensyukuri makanan malam ini, juga mensyukuri waktu bersamanya.
Dia hanya kakak. Tidak lebih. Walaupun rasa
ini perlahan jadi lebih, sampai kapanpun dia akan tetap jadi kakak. Meski begitu,
aku bersyukur, aku bisa merasakan perhatian yang luar biasa darinya. Meski darinya,
aku belajar mematikan segala rasa, untuk tidak berharap lebih, dan mendoakan
kebahagiaannya, selayaknya adik mendoakan kakaknya.
Namun jauh di dasar hatiku. Masih ada
kupu-kupu yang berusaha terbang meski dengan sayap terluka.
***
Komentar
Posting Komentar