Well I found a woman, stronger than anyone I know~
She shares my dreams, I hope that someday I'll share her home~
Aku terbangun. Entah berapa lama telah tertidur. Mataku mengerjap ragu.
"Dimana ini?" Pikirku.
Lantunan lirik lagu perfect yang membuat aku terbangun terus mengalun. Sayup-sayup dibawa angin yang sejuk.
Di depan mataku hanya ada padang rumput hijau. Aku tertidur diatas sebuah tikar rotan yang dilapisi kain sutra putih. Di empat sudutnya berdiri tegak tiang yang mengikat kain satin putih yang berkibar-kibar.
Satin itu menari.
Aku membuka mataku lebih lebar. Aku menerawang sekeliling. Bahkan di sebelahku ada roti gandum dan susu dingin serta sedikit buah-buahan kampung. Ada pisang, jeruk yang masih agak hijau, dan jambu air.
"Ini.. lagi piknik kali ya?" Pikirku lagi.
Aku menunduk. Aku mengenakan dress warna putih gading selutut. Rambutku rasa-rasanya terurai begitu saja. Aku ingin bercermin, tapi disekitarku tidak ada satu benda pun yang bisa digunakan bercermin.
Ah, Ada! Handphone pemutar lagu Perfect pasti bisa digunakan bercermin, pikirku lagi.
Aku mencari-cari. Tapi tidak menemukan handphone yang dimaksud. Jangankan handphone, sumber suara lagu romantis yang sedang mengalun saja tidak terlihat.
"Cari apa?" Sebuah suara lembut mengagetkanku. Aku menoleh ekstrim.
"Eh.. itu.. handphone." Kataku terbata.
Sosok lelaki jangkung berkacamata sedang menatapku. Kulitnya sawo matang. Matanya bersih dan tatapannya teduh. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi sesuai dengan struktur wajahnya. Pipinya tidak terlalu tirus bahkan cenderung chubby, tapi terbantu dengan struktur wajahnya yang agak panjang. Dan... Bulu matanya, cantik.
"Buat apa?" Tanyanya lagi.
"Ngaca.." aku menjawab pelan. Kemudian alis kanan lelaki itu terangkat.
"Kenapa? Mau liat ileran apa engga? Haha" ujarnya sembari tertawa renyah
Aku merengut.
Dia mencubit pipiku. "Bercanda, sayang.." katanya lembut.
Aku merona.
Lelaki jangkung bersuara bariton itu kemudian sedikit merunduk, dan mengulurkan tangan kirinya kepadaku. Dia ingin aku bangun.
Tanpa pikir panjang, aku meraih ajakannya.
Dia menggenggam tanganku lembut. Mengajak tubuhku berjalan di atas padang rumput hijau dengan kaki telanjang.
"Gimana? Mimpi indah? I see ur smiling, so cute" ucapnya diantara sepoian angin.
"Eh? Emang iya? Ngga mimpi apa-apa sih." Jawabku singkat.
"Ahh.. aku pikir lagi mimpi jadi presiden, makanya senyum-senyum" ujarnya.
Deg. Dia tahu mimpi terbesarku. "Hah? Enggaaa!" Jawabku cepat.
"Hahaha.. iya juga ngga apa-apa. Aku dukung kok. Pemikir kritis seperti kamu pasti mampu jadi presiden." Ucapnya tak kalah cepat.
Aku tersenyum tulus. Takjub mendengar jawaban laki-laki yang sedang menggandengku ini. Aku tersipu, tak sadar genggamanku padanya semakin erat.
Dia menoleh seketika. Aku mematung. Hingga akhirnya dia melempar senyum yang entah bagaimana menyejukan relung hati ini.
Iringan lagu perfect masih sempurna menemani langkah kami berdua.
"Wanna dance?" Tiba-tiba dia melepas genggamanku dan sedikit merunduk.
Aku terperanjat. Tapi juga tersenyum disaat yang sama.
Lalu mengangguk malu.
Terlihat lelaki itu melempar senyumnya lagi.
Tangan kananku meraih tangan kirinya dan tangan kiriku mendarat sempurna di dada kanannya. Dia bilang harusnya tangan kiriku berada di bahunya. Tapi kemudian dia mengejekku bahwa tanganku tidak akan mencapai bahunya. Meh.
Sementara tangan kanan lelaki itu merangkul erat pinggang mungilku. Dan mendorong tubuhku mendekat ke tubuhnya.
We are still kids, but we're so in love~
Fighting against all odds~
I know we'll be alright this time~
Darling, just hold my hand~
Be my girl, I'll be your man~
I see my future in your eyes~
Diiringi lagu perfect. Kami berdua menari diatas hamparan padang rumput hijau. Bertelanjang kaki. Ditemani deru angin yang mengibarkan pakaian dan rambutku yang terurai.
Meski padang ini tanpa bunga, tapi aku tahu hatiku berbunga-bunga. Mungkin bunganya bisa memenuhi padang hijau ini. Jika aku melihat lelaki yang menari denganku ini tersenyum, aku merasakan ratusan kupu-kupu mencoba menggelitik rongga perutku.
"You look perfect for me." Desisnya di telinga kiriku. Membuat mataku berkaca.
Aku melingkarkan kedua lenganku di belakang tengkuknya. Aku memeluknya erat meski kedua kakiku harus berjinjit.
"Siapapun dia. Meski dia hanya berada dalam mimpiku malam ini. Aku bersyukur, Tuhan pertemukan aku dengan sosoknya. Lelaki tak bernama ini. Lelaki yang telah merebut hatiku bahkan jauh sebelum aku mengetahui keberadaannya"
***
Komentar
Posting Komentar