Langsung ke konten utama

Secarik Rasa...





Secarik rasa...
Untuk yang tercinta...

Sebut aku Rasa. Aku adalah gadis mungil nan ceria yang kini sedang bergundah gulana.
Hampir beberapa malam yang aku lewati di atas kasur empuk dan nyaman ini, aku lewati dengan diam dan merenung.

Hei kamu, yang berada jauh di negeri antah berantah sana. Yang tidak pernah aku tahu bagaimana rupa negeri itu dan bagaimana rupamu ketika kamu berada disana. Hanya ada kamu di pikiran ini ketika malam tiba.

Hei kamu, yang aku sebut segalanya bagiku. Setiap malam selalu jadi puncaknya rasa pilu karena kamu. Karena kamu yang aku tunggu.

Adalah rasa pilu yang ada, ketika aku sadar bahwa kamu, kekasihku yang sangat menyayangiku dan aku sayangi, namun tidak mampu saling berbagi lagi seperti dulu sebelum kamu pergi.


“Arrgggh!” Aku meremas kertas yang awalnya akan kujadikan media membuat puisi. Aku melempar buntalan kertas itu ke tempat sampah di pojokan kamar dengan emosi yang tak terbendung.
       Menangis.
       Aku membenamkan wajahku diantara kedua tanganku diatas meja belajar yang menyemburatkan bau jati yang khas. Bahuku bergetar hebat. Suara erangan beberapa kali terdengar dari mulutku.
       Aku bukan sedang depresi berat, sungguh. Aku cuma... cuma... cuma sedang amat sangat rindu pada seseorang! Iyaaa, aku rindu pacarku, laki-lakiku.
       Sudah hampir seratus hari aku tidak bertemu dengannya. Yah, mungkin ini terdengar biasa karena sekarang ini sudah banyak hubungan jarak jauh atau LDR di tengah masyarakat. Tapi, LDR aku ini beda. Aku tekankan, ini beda! Kalau LDR beberapa temanku yang pacarnya kuliah di luar kota masih bisa saling berbagi cerita setiap hari dan bisa ber-skype ria melihat wajahnya.
Tapi aku tidak.
Pacarku sedang dalam pendidikan di luar Provinsi tempatku berpijak ini. Iya, dia sedang dalam pendidikan yang sangat ketat peraturannya. Tak perlu aku sebutkan spesifikasi pendidikannya, tapi yang pasti, itu bukan tempat pendidikan yang kalau seorang pacar bisa minta, aku akan minta dia tidak berada disana. Kenapa? Karena tempat pendidikannya telah mutlak membuat aku tersiksa.
Okay, begini ceritanya. Dia, panggil saja Rangga –seperti di kisah cinta romantis yang pernah aku tonton- adalah laki-laki yang tertarik dengan gaya dan kelakuanku sewaktu kami bertemu di kampus. Yup, dia teman kampusku, satu jurusan denganku. Aku juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mengharapkan dia akan jatuh hati pada gadis seperti aku, yang mungil, sederhana, dan tidak tahu di bagian mana yang berkharisma? Sedangkan dia, laki-laki jangkung yang lumayan mempesona dan menarik perhatian jika aku bawa ke kondangan. Apalagi dia sangat cool.
Tapi, ternyata, setelah menjalani beberapa bulan hubungan dengannya. Dia memang mempesona. Dia laki-laki yang baru aku temui mampu menerima kelebihan dan kekuranganku dan sama sekali tidak merusakku. Ini dia nilai plus dari Rangga, dia sama sekali tidak pernah merusak ragaku seperti mantanku sebelumnya. Tapi, sayangnya, Rangga ternyata mampu menyiksa batinku diluar yang aku kira.
Benar, di pertengahan semester, dia memutuskan pergi melaksanakan pendidikan yang aku bilang So Damn itu. sungguh bukan maksudku untuk melecehkan pilihannya ataupun menghina pendidikan itu. Tapi, ayolaaaah! Pendidikan itu memiliki peraturan yang bisa membuat aku hampir gila!
Tidak ada komunikasi sama sekali selama dua bulan pertama?! Itu sih namanya pembunuhan berencana. Aku yang setiap hari selalu bertemu dengan Rangga di kampus dan selalu bertukar pesan singkat di setiap waktu tiba-tiba harus menerima keadaan dimana aku bahkan tidak boleh tahu bagaimana keadaannya di setiap harinya? hah, rasanya menangis sampai serak pun tidak akan membuat mereka petinggi pendidikan itu mentolerir Rangga agar boleh aku hubungi walau hanya 1 menit sehari. Payah.
But, baiklah, dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya, ternyata aku mampu dan berhasil juga melewati dua bulan berat itu tanpa menumbuhkan rasa benci pada Rangga. Karena biasanya, aku akan sangat benci pada keadaan yang membuat aku kesal, alih-alih tidak bisa menumpahkan kekesalan pada keadaan, maka orang yang membuat keadaan inilah yang akan aku benci. Tapi, beruntunglah Rangga, karena aku tidak mampu membencinya. J

Dan saat ini, saat dimana aku membuang kertas yang berisikan puisi setengah jadi itu ke tempat sampah adalah tepat 100 hari aku belum bertemu Rangga lagi. Aku rindu padanya. Rindu rasa aman dan nyaman yang dia alirkan ketika ada di sampingku. Aku rindu sekedar berjalan-jalan di mall dan makan siang berdua dengannya. Sungguh, aku rindu dia setengah mati! Hah, oke, itu berlebihan.
Tapi, intinya aku rindu Rangga!
Rasanya seperti bertubi-tubi siksaan ketika aku berjalan di pelataran kampus yang menjadi saksi bisu kalau kami pernah bercanda disana, di kursi batu, dan di lorong kampus. Dan bertambah lagi siksaan itu ketika aku manjamahi mall yang selalu aku kunjungi berdua dengannya untuk menghabiskan waktu bersama. melewati kursi foodcourt ketika lunch berdua, melewati beberapa toko pernak-pernik yang pernah dimasuki bersama, dan melewati tempat fotobox berdua yang tidak ada habisnya mengorek kenangan di kepalaku. Benar-benar menyiksa.
Pepatah bilang, batu yang begitu keras pun lama-lama akan hancur jika terus ditetesi air. Tuh, batu aja hancur, apalagi hati? Makin hari rasa rindu ini makin liar berkoar di hati. Aku tahu, setelah dua bulan pertama, memang Rangga diperbolehkan menghubungi aku –dan orang lain- hanya di hari Sabtu malam hingga Minggu malam. Aku ulangi, HANYA SABTU dan MINGGU! Tuhan... jujur saja itu sama sekali tidak mengobati rasa rinduku. Sama seperti batu itu, hati aku juga mungkin akan hancur kalau lama-lama tidak menemukan pasangan hatinya. Hati aku mungkin akan hancur kalau terus-terusan disirami rasa rindu. Oke, ralat, nggak hancur juga sih, tapi mengkerut, carut-marut, keriput, atau apalah itu yang maksudnya hati aku tidak akan kuat lagi menahan rasa rindu pada Rangga.
Haaaaah...
Itulah sebabnya, sebelum aku benar-benar gila, aku menulis ini, aku hanya ingin berbagi dengan kamu. Mungkin disana kamu tidak akan melihat tempat-tempat yang pernah menjadi tempat kenangan kita berdua yang sangat menyayat hati ini, mungkin disana tidak ada suasana seperti di kampus kita dulu. Mungkin kamu memang tetap merasakan sakit yang sama ketika kamu merindukan aku sebelum beranjak tidur, tapi pasti rasa sakit itu akan berbeda denganku yang merasakan rindu di setiap tanah yang aku pijak dari pagi hingga malam. Karena dulu, kamu selalu menemani aku di setiap langkahku. Iya, kan? Jujur saja aku jadi sedikit menyesal telah menyertakan kamu dalam setiap hela nafasku dalam sehari, kalau aku tahu ternyata kamu akan pergi jauh, mungkin aku akan memilih berjalan sendiri saja.
Tapi, sekarang menangisi keadaanpun tak akan mengubah apa-apa, right? Yang bisa aku lakukan sekarang adalah berusaha sekuat yang aku bisa. Berusaha berpikir sepositif yang aku bisa. dan berusaha menunggu sesabar yang aku bisa.
Walaupun aku tidak tahu kapan aku akan kehilangan kendali terhadap rasa yang aku jaga ini. Tapi, aku berharap, sebelum kendali yang mulai goyah ini nantinya hancur dan tak bertahan, sebelum itu kamu bisa kembali menguatkannya dengan kehadiranmu... J
Amin...

Komentar

  1. mal, curhat? :p hahahahha

    takut deh gue merasakan hal kayak gini..

    BalasHapus
  2. hahaha labelnya aja curhat :p
    jangan ditakutin, nanti terjadi looh :" hihi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Pengakuan Kinan

Aku berjalan cepat mengejar bis yang setiap harinya menuntutku untuk lebih gesit dari hari kemarin. Kaki-kaki kecilku melompati genangan demi genangan air sisa hujan semalam. Aku, dengan setelan serba gelap, seragam yang dibalut cardigan hitam, rok abu-abu, black flat shoes , dan tas hitam yang menggantung di pundak tangan kananku. Kaki-kaki kecilku semakin lambat berlari. Deru nafasku semakin jelas terdengar, naik-turun, tak terkendali. Rasanya lelah setiap pagi harus mengejar bis yang sama agar aku bisa sampai di sekolahku yang sangat-sangat jauh itu dengan biaya yang sangat-sangat murah. Jari-jariku melepaskan tiga lembar uang ribuan ke tangan kenek bis yang terus-menerus menggerakkan lengannya naik-turun hingga timbul dentingan-dentingan dari koin yang saling beradu. Aku mendapat kursi di belakang sopir bis. Beruntung, pagi ini aku tidak berdiri dengan tangan kanan terangkat, walaupun, teman sebangku-ku ini juga tidak bisa dikatakan beruntung, bapak setengah ...

Review & Testimoni NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon

Annyeonghaseyooooo ^^ Postingan ini adalah tulisan pertama aku yang mereview sebuah produk skin care Korea yang aku pakai. Fyi guys , tulisan ini bukan endorse or paid promote loh yah, ini murni review atau testimoniku mengenai produk dari merk yang sudah aku pakai dalam beberapa waktu. Here it is .. NEOGEN Bio-Peel Gauze Peeling Lemon Produk skin care Korea pertama yang aku review adalah si kuning ini, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Pertama kali tahu soal produk ini dari vlogger favorite aku yang melakukan demo menggunakan Neogen Bio-Peel ini yang keliatannya sangat moist banget sewaktu dipakai. Setelah stalking dan baca review disana-sini, akhirnya aku memutuskan untuk membeli produk Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon. Kenapa lemon? Padahal Neogen ini mengeluarkan 3 varian yaitu Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Lemon, Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Wine, dan Neogen Bio-Peel Gauze Peeling Green Tea. Jawabannya adalah tergantung kebutuhan kulit ki...

Namaku, Rindu...

Namaku Rindu, Ketika kita tidak saling bertemu Ketika panca indra tak mampu merasakan kehadiran kamu Ketika raga tak bisa lagi merasakan sentuhanmu Dan ketika detak jantung sudah tak berirama jika mengucap namamu Panggil aku rindu, Perasaan sesak di dada yang tak mampu menuruti keinginan jiwa Perasaan sakit saat aku tahu bahwa kamu tak ada lagi di sekeliling raga Aku rindu dan aku tersiksa Sebut aku rindu, Saat air mata menjadi bukti nyata adanya rasa pilu Saat hanya air mata yang mampu ikut merasakan rasa itu Saat air mata, adalah satu-satunya ekspresi jiwa yang bisa diluapkan seketika itu Ketika rindu itu merajalela Aku rindu dan aku sengsara Kenapa kamu harus pergi begitu jauh? Kenapa harus ada jarak untuk perasaan kita? Dan kenapa aku tak mampu untuk menerima jawaban yang ada... Kamu... aku rindu kamu.. Aku tak ingin menyalahkan keadaan, tapi keadaan memaksaku untuk mengumpatnya. Aku benci rasa rindu.. Sesak, kosong, dan merana.. Aku...