Malam itu, nada-nada chopin nocturne op.9 no.2 terdengar samar-samar mengalun dari ujung lorong.
Ruang kesenian.
Agak ngeri memang, tapi kakiku terus melangkah mendekati ruangan itu. Ruang kesenian sekolah, jam 8 malam.
"Harusnya udah gak ada kegiatan, kan?" Gumamku.
Gendang telingaku makin jelas menangkap nada-nada musik chopin noctrune op.9 no.2 tersebut.
Langkah kakiku kemudian berhenti di depan pintu ruang kesenian. Dari sini, denting pianonya terdengar sangat jernih. Aku mematung. Menikmati.
"Permainan piano ini.. konsisten, tapi ditengah tadi sempat terdengar temponya lebih cepat, kemudian melambat lagi perlahan." Gumamku lagi. "Apa pemainnya.. menangis?"
Kemudian denting pianonya berhenti.
Ah, sudah selesai. Sudah sampai bait terakhir ternyata.
Aku mengerjap. Jangan-jangan sebentar lagi pemainnya akan keluar dari pintu?
Aku menggeser posisiku berdiri. Menyiapkan hati untuk melihat pianis yang akan aku temui. Siapa? Pikirku. Siapa yang bisa memainkan musik chopin sebegitu emosionalnya?
5 menit berlalu..
"Apa dia gak keluar?" Ujarku pelan.
Aku melangkahkan kakiku ke depan pintu ruang kesenian lagi. Memegang sadel pintu. Dan bersiap-siap memutarnya.
Pintu ruang kesenian berdecit saat aku membukanya. Memberi kesan horor yang maksimal. Pikirku.
Lalu. Dang. "Ko..song....?" Bisikku sembari menelan apapun yang ada di tenggorokan.
Lampunya menyala, tapi tidak ada siapapun yang terlihat disana. Dan barisan tuts piano pun sudah tertutup dengan rapi.
Sempat penasaran. Tapi cepat-cepat aku menutup pintu ruang kesenian dan berjalan cepat menjauhinya. Bagaimanapun aku penasaran, rasa penasaranku ini masih kalah sama rasa takutku bertemu hal-hal yang tidak mau aku bayangkan.
Sesampainya di gerbang sekolah, aku baru sadar kalo aku terengah-engah karena berlari. "Gosh, is that ghost? Atau.. ada kemungkinan lain? Ya ampun.. bikin merinding aja." Kataku sambil beranjak pulang.
"Tapi.. masa kalo hantu, maininnya lagu chopin? Biasanya kalo di film-film kan.. beethoven? Forelis.." Gumamku perlahan.
Namaku Neelam Aliya Dewi Adhiputra. Agak panjang memang, jadi panggil saja Nilam, atau Aliya, atau Dewi. Asal jangan Adhiputra, itu nama Papaku.
Oh, ada satu panggilan lagi, yaitu Nada.
Seseorang pernah menyadarkanku bahwa jika namaku disingkat, maka akan jadi sebuah kata baru, yaitu Nada. Sejak saat itu, dia memanggilku Nada. Iya, hanya dia dan yang mengenal kami yang memanggilku Nada.
Anak laki-laki yang kukenal saat kelas 5 SD karena jadi murid pindahan dari Yogyakarta. Dia agak pendiam. Mungkin karena dia seorang penikmat musik klasik sejak kecil. Karena mengenal dia-lah, aku mengenal bait bait musik klasik.
Dia, Gema Arsa Putra. Cinta pertamaku, di kelas 5 SD.
***
Ruang kesenian.
Agak ngeri memang, tapi kakiku terus melangkah mendekati ruangan itu. Ruang kesenian sekolah, jam 8 malam.
"Harusnya udah gak ada kegiatan, kan?" Gumamku.
Gendang telingaku makin jelas menangkap nada-nada musik chopin noctrune op.9 no.2 tersebut.
Langkah kakiku kemudian berhenti di depan pintu ruang kesenian. Dari sini, denting pianonya terdengar sangat jernih. Aku mematung. Menikmati.
"Permainan piano ini.. konsisten, tapi ditengah tadi sempat terdengar temponya lebih cepat, kemudian melambat lagi perlahan." Gumamku lagi. "Apa pemainnya.. menangis?"
Kemudian denting pianonya berhenti.
Ah, sudah selesai. Sudah sampai bait terakhir ternyata.
Aku mengerjap. Jangan-jangan sebentar lagi pemainnya akan keluar dari pintu?
Aku menggeser posisiku berdiri. Menyiapkan hati untuk melihat pianis yang akan aku temui. Siapa? Pikirku. Siapa yang bisa memainkan musik chopin sebegitu emosionalnya?
5 menit berlalu..
"Apa dia gak keluar?" Ujarku pelan.
Aku melangkahkan kakiku ke depan pintu ruang kesenian lagi. Memegang sadel pintu. Dan bersiap-siap memutarnya.
Pintu ruang kesenian berdecit saat aku membukanya. Memberi kesan horor yang maksimal. Pikirku.
Lalu. Dang. "Ko..song....?" Bisikku sembari menelan apapun yang ada di tenggorokan.
Lampunya menyala, tapi tidak ada siapapun yang terlihat disana. Dan barisan tuts piano pun sudah tertutup dengan rapi.
Sempat penasaran. Tapi cepat-cepat aku menutup pintu ruang kesenian dan berjalan cepat menjauhinya. Bagaimanapun aku penasaran, rasa penasaranku ini masih kalah sama rasa takutku bertemu hal-hal yang tidak mau aku bayangkan.
Sesampainya di gerbang sekolah, aku baru sadar kalo aku terengah-engah karena berlari. "Gosh, is that ghost? Atau.. ada kemungkinan lain? Ya ampun.. bikin merinding aja." Kataku sambil beranjak pulang.
"Tapi.. masa kalo hantu, maininnya lagu chopin? Biasanya kalo di film-film kan.. beethoven? Forelis.." Gumamku perlahan.
Namaku Neelam Aliya Dewi Adhiputra. Agak panjang memang, jadi panggil saja Nilam, atau Aliya, atau Dewi. Asal jangan Adhiputra, itu nama Papaku.
Oh, ada satu panggilan lagi, yaitu Nada.
Seseorang pernah menyadarkanku bahwa jika namaku disingkat, maka akan jadi sebuah kata baru, yaitu Nada. Sejak saat itu, dia memanggilku Nada. Iya, hanya dia dan yang mengenal kami yang memanggilku Nada.
Anak laki-laki yang kukenal saat kelas 5 SD karena jadi murid pindahan dari Yogyakarta. Dia agak pendiam. Mungkin karena dia seorang penikmat musik klasik sejak kecil. Karena mengenal dia-lah, aku mengenal bait bait musik klasik.
Dia, Gema Arsa Putra. Cinta pertamaku, di kelas 5 SD.
***
Komentar
Posting Komentar